Kadang, apa yang sebenarnya terjadi terlalu perih untuk diketahui.
---
Apa yang baru saja Rey dengar?
Seperti flashback sebuah film, otaknya memproses dengan cepat kejadian beberapa menit lalu. Memutarnya di atas kepala Rey, serupa cuplikan sebuah adegan.
“Karena nama ayah tidak pernah ada dalam akta kelahiranku.”
“Aku lahir tanpa seorang bapak, Rey!”
Lalu sebuah cuplikan lain menyusul.
“Papa mau perempuan yang akan menjadi pendampingmu adalah anak yang jelas ayah dan ibunya.”
Saling tumpang tindih, berputar dalam kepala Rey.
“Karena nama ayah tidak pernah ada dalam akta kelahiranku.”
“Papa mau perempuan yang akan menjadi pendampingmu adalah anak yang jelas ayah dan ibunya.”
“Nama ayah tidak pernah ada dalam akta kelahiran.”
“Anak yang jelas ayah dan ibunya.”
“Tidak pernah ada dalam akta kelahiran.”
“Yang jelas ayah ....”
“Tidak pernah ada ....”
“Ayahnya ....”
Detik selanjutnya, teriakan Rey menggema dalam ruangan yang hanya ada dirinya itu, disusul bunyi bantingan konsol PS yang mencium lantai. Lelaki itu membungkuk di kursi hingga wajahnya menyentuh lutut. Meremas rambut kencang, berharap sakit kepalanya hilang.
Kenapa harus serumit ini?
Kenapa kisah cintanya seperti ini?
Berbagai pertanyaan berawalan kenapa menari-nari dalam otak, membuat Rey kian membenamkan kepala.
***
Jadi, apa sekarang?
Rey memandang pantulan dirinya di cermin. Wajah kusut, dengan kantung mata menyerupai mata Panda terpampang di sana. Belum pernah Rey seberantakan ini.
Menyugar rambut ke belakang, lelaki itu melirik kalender di atas meja, sudah dua hari dia absen kuliah. Memilih mengurung diri di kamar, mengabaikan panggilan duo kembar, menulikan telinga dari teriakan Alarik di luar pintu kamar. Rey mendengkus, yakin ini kamu Rey? Menertawakan dirinya sendiri, yang berubah cengeng hanya karena seorang perempuan. Demi apa dia harus meratapi nasib? Beruntung Randy Atmaja sedang berada di luar kota, tidak perlu melihat jagoannya berubah selembek kapas.
Menarik napas panjang, Rey menyugesti pikiran. Dia akan baik-baik saja, mari memulainya dari awal. Senyum yang terukir di wajah pria dalam cermin, membuat Rey menarik bibir lebih lebar, lantas lelaki itu bergegas masuk ke kamar mandi, langkah awal memulai hari.
*
“Wuishh, siapa nih yang dateng?” Bagus menyambut kedatangan Rey dengan antusias, meninju pelan bahu Rey lalu memeluk layaknya seorang teman.
Hal yang sama dilakukan Bagas. “Sehat lu Bro? Kemarin kenapa, mencret atau lagi datang bulan?” ejeknya.
“Sialan lo!”
Dan mereka tertawa, seolah yang terjadi kemarin hanyalah sebuah episode yang tidak perlu diingat. Bercengkrama seperti biasa, tanpa menyinggung apa pun tentang Selly.
***