Berpura tidak mengingatmu itu jauh lebih menyakitkan daripada tertusuk seribu pedang.
*
Delapan tahun kemudian.
Rumah itu masih sama, dihuni oleh dua orang pria beda usia dengan enam asisten rumah tangga di dalamnya. Lebih dari luas untuk di sebut rumah, dan mewah serupa istana, seolah mengabarkan bahwa sang empunya mempunyai pundi-pundi harta yang tidak cukup dihitung dengan sepuluh jari saja.
Seorang pria tua dengan rambut nyaris berubah warna menjadi abu-abu keperakan duduk di teras samping, menikmati secangkir kopi hitam sembari membalik koran di tangan.
“Pagi, Pah.”
Sebuah suara menginterupsi, membuat pria berkaca mata silindris itu menurunkan surat kabar, dan melipatnya. “Pagi, Rey.”
Randy mengamati putra semata wayangnya, lelaki yang pagi ini memakai tuxedo biru gelap itu terlihat gagah seperti biasa. Patutlah Randy bangga, anaknya adalah pekerja keras, tidak menyesal dia telah memasrahkan urusan perusahaan ke tangan Rey Atmaja.
Di bawah pimpinan Rey tiga tahun terakhir, perusahaan sabun milik RA Grup telah berkembang pesat, melebarkan sayap hingga ke produksi parfum dan minyak angin. Membuat Randy bisa lebih santai di rumah, dan tenang mempercayakan nasib ribuan karyawan pada Rey.
“Aku mau berangkat,” pamit Rey, lantas membungkuk, menjabat tangan dan menempelkan keningnya di sana.
Apa lagi yang Randy harapkan sebagai seorang ayah? Anaknya cerdas, bertanggung jawab dan menghormatinya. Rasanya kebahagiaannya sudah lengkap. Lebih tepatnya belum lengkap, masih kurang satu.
“Rey.” Randy menahan tangan putranya. “Acara nanti malam kamu gak lupa, kan?”
Alis Rey mengernyit, mencoba mengingat jadwalnya hari ini, sedetik kemudian lelaki itu mengangguk. “Jadi Pah, di tempat biasa, kan?”
“Iya, dan jangan telat! Papa sengaja booking lantai atas untuk kalian berdua.”
Sekali lagi Rey mengangguk, lantas melimbai pergi.
“Kamu tidak sarapan Rey?” ucapan Randy masih bisa didengar Rey yang sudah berjalan menyusuri halaman.
“Nanti saja, di kantor, Pah,” jawab Rey sedikit berteriak, sebelum bergegas menuju car port.
Randy menghela napas, menyaksikan kepergian anaknya dengan perasaan ganjil seperti biasa. Bahagianya sebagai ayah memang lengkap, tapi belum sempurna.
*
"Selamat siang, Pak, ada Bapak Bagus yang ingin bertemu."
Suara dari interkom di sudut meja, menginterupsi Rey dari kegiatannya mengetik di keyboard laptop. “Persilakan masuk,” jawabnya.
Tak berselang lama, pintu terbuka menampilkan sosok lelaki berambut ikal dengan lengan kemeja di gulung hingga batas siku.
“Sibuk lo, Rey?” Bagus duduk di sofa berwarna coklat berhadapan dengan meja kerja Rey.