Aku selalu berusaha membuka mata, tapi apa daya jika hati memaksanya menutup kembali.
*
Hari yang buruk bagi Rey Atmaja. Setelah seharian konsentrasinya pecah karena sebuah cincin, malam ini dia harus menemui perempuan yang telah Randy rancangkan untuknya. Tepatnya perempuan keenam tahun ini.
Rey mengetukkan jemarinya di roda kemudi, sedikit malas menghadiri acara kali ini yang sudah bisa dia pastikan hasilnya. Lelaki itu masih berada di dalam mobil, di sebuah pelataran masjid, sholat Maghrib baru saja selesai ditunaikan. Ada satu doa yang selalu Rey aturkan delapan tahun terakhir ini, semoga Allah mendatangkan perempuan yang mampu membuatnya berkata ya, tanpa alasan apa pun.
Meski hingga detik ini, belum ada tanda doa itu terkabul. Rey sendiri bingung, setiap perempuan yang Randy sodorkan selalu mempunyai cela yang tidak Rey sukai. Seperti Mailina, gadis keturunan Minang dengan mata bulat dan kulit bersih itu misalnya. Berhijab, anggun, dan cerdas. Dokter spesialis anak yang tidak perlu diragukan kelembutannya.
Di pertemuan kedua mereka, Rey tertegun ketika melihat tawa gadis itu. Jenis tawa yang membuat netranya menyipit serupa lengkung bulan sabit. Seperti tersedot pusaran air, bayangan gadis lain yang justru berada di depannya. Gadis dengan ekspresi tawa nyaris serupa. Sejak saat itu, Rey tahu dia tidak akan menerima Mailina seutuhnya, karena dibayangi sosok masa lalu.
Rey menyugar rambut, lantas menyandarkan kepala di bangku kemudi. Haruskah dia mengecewakan lagi ayahnya? Haruskah dia terus membuat sahabatnya khawatir karena terpenjara khayalan semu?
Getaran dari ponsel di sampingnya membuat Rey meraih benda pipih itu. Satu notifikasi chat dari Bagus.
(Lo gak berniat mangkir kan?)
Mengecek penunjuk waktu, lima menit lagi janji temu itu dijadwalkan. Rey memandang restoran di seberang jalan, lantas menyalakan mesin mobilnya.
*
“Apa-apaan ini?” Netra Rey membola ketika sampai di lantai dua tempat makan itu.
“Buat jaga-jaga,” jawab Bagas, sambil menyilangkan tangan di dada.
Rey mengerutkan pangkal hidung. “Ide lo bedua?” tunjuknya pada Bagas dan kembarannya, karena Alarik yang juga ada di sana tidak mungkin punya pemikiran sekonyol ini.
Bagus menaikkan sudut bibir, sembari menaik turunkan alis. “Lo kan, suka aneh-aneh syarat calon bininya, makanya kita udah siapin sarana dan prasarananya.”
Rey mendengkus, dipandanginya area lantai atas restoran yang berubah total karena ulah dua temannya itu. Di sisi kanan, tepat di samping dinding kaca sebuah meja bulat dengan dua kursi tertata apik. Dihiasi bunga mawar putih dan lilin di tengahnya. Tiba-tiba Rey merasa mual, ini seperti makan malam romantis sepasang kekasih, sementara mereka bahkan belum pernah bertemu sebelumnya.
Yang paling menarik, tapi juga konyol adalah peralatan di sebelah kiri. Terdiri dari lima buah meja dengan benda berbeda di atasnya. Meja paling ujung ada sebuah mushaf Al-Quran, lalu sebelahnya peralatan memotong sayur, lengkap dengan sayurannya, Rey ingat dulu pernah menolak Aulia yang tidak bisa memegang pisau dapur. Meja ke tiga ada seperangkat alat masak, jadi setelah memotong sayur kandidat calon istrinya kali ini akan memasak? Kenapa Rey merasa menjadi juri sebuah acara kuliner sekarang?
Di meja berikutnya ada bak cuci, yang membuat Rey mengerutkan kening. “Apa ini?”
“Kali aja setelah masak lo mengharuskan istri lo bisa cuci piring, nah kita udah sediain, nih.”
Bibir Rey berkedut mendengar jawaban Bagus. Apa Rey sudah demikian keterlaluan? Dia tidak seribet itu sebetulnya.
“Lalu treadmil ini?” Rey menunjuk benda di sebelahnya.
“Lo lupa pernah nolak Murni?” Bagus yang menjawab. “Dengan ini lo bisa ukur kecepatan larinya, dan ini ....” Dia menunjuk karpet merah yang tergelar memanjang, serupa sarana berjalan para model. “Lo juga bisa mastiin tu cewek jalannya gak diitung, atau kalo lo mau nyoba bawa lari bareng juga bisa.”
Rey menyemburkan tawa, sudah tidak tahan lagi menahannya, sementara ketiga laki-laki lain melihatnya dengan pandangan bertanya.