Mawar Biru

SZA
Chapter #18

Hancur

Kadang hanya dibutuhkan satu kata. Untuk menyakiti atau untuk menunjukkan kasih sayang. Bahkan kadang hanya butuh tatapan sekilas saja untuk memahami. Kadang semudah itulah kita merubah hidup seseorang.

🍃

Juli 2015

Sudah hampir sebulan aku marah. Marah pada keadaan saat ini, dan ketidak mampuanku. Aku tau kemarahan ku ini tidak berguna. Karena keputusan kedua orang tuaku untuk pindah sudah tidak bisa aku tawar lagi. Perlahan, aku mencoba untuk menerimanya. Mereka terus membujukku, bahwa ini yang terbaik untuk keluarga. Aku dapat bersekolah di SMA seni seperti keinginanku, ini akan memudahkan ku saat ingin melanjutkan ke perguruan tinggi khusus seni juga.

Saat aku ingin membuat alasan tentang nasib rumah kita. Ibu memberi tau bahwa rumah ini akan ditempati sementara oleh sepupunya. Paman akan kembali setelah dua tahun belajar di Berlin, dan akan menempati rumah kita lagi. Jadi, aku tidak perlu mengkhawatirkan tentang itu. Ibu juga terus memberiku nasihat, tentang keluarga yang harus terus bersama, di berbagai keadan. Membuat ku merasa bersalah, seperti aku tidak ingin bersama keluargaku sendiri.

Aku belum memberi tau teman-temanku tetang kepindahanku. Hanya Katherin saja yang tau. Sekarang aku bingung bagaimana caranya untuk memberi tau Aidan,tentang kepindahanku. Mungkin kepindahanku tidak banyak memberikan pengaruh padanya, namun bagiku itu akan sangat berbeda. Kehadirannya sudah menjadi bagian dari semua hari-hariku yang telah berlalu. Dan, aku belum siap untuk perubahan yang akan terjadi. Perubahan dalam hidupku, dimana semua hari yang akan aku lewati tanpa kehadiran darinya.

Saat ini yang aku hanya fokus melukis, hadiah yang akan aku berikan lebih cepat kepada Aidan. Tentu saja penyebabnya adalah kepindahanku pada Bulan Juli, sedangkan ulang tahun Aidan di Bulan September. Aku sering menghabiskan waktu di lapangan dekat rumahku, untuk mendapatkan suasana yang menenangkan saat melukis. Seperti sekarang ini.

Ditemani dengan segarnya udara dan suara daun yang diterpa semilir angin. Aku memandang lukisan yang sedang aku lukis. Lukisan yang ku buat untuk kesekian kalinya. Aku sudah menggambar beberapa sketsa. Dan, aku masih tetap kebingungan untuk menentukan lukisan yang mana, untuk ku berikan kepada Aidan. Aku tidak hanya bermaksud untuk memberinya satu lukisan saja. Tetapi, aku ingin memberinya tiga buah lukisan.

“Elena...” panggil suara familiar, membuatku terperanjat kaget.

Aku memandang ke arah suara itu. Dan, benar saja, aku melihat Aidan sedang berdiri dengan memakai kaos dan celana training, dia memegang bola dengan kedua tangannya dan melihat ke arahku dengan tatapan bingung.

Aku langsung menutup buku gambar khusus untuk ku melukis. Untung saja hari ini aku hanya berniat untuk membuat sketsa. Biasanya aku membawa semua alat lukisku, bahkan easel yang besar pun pernah aku bawa sampai ke lapangan ini.

“Hei...” jawabku canggung.

Aidan berjalan ke arahku, “Apa yang kamu lakukan disini?”.

“Hanya menikmati udara segar dan mencoba untuk merenung.”

“Merenung?” tanya Aidan mengerutkan keningnya.

Aku mendegus pelan, “Jangan memandangku seperti itu.”

Aidan tertawa kecil, “Memangnya aku memandangmu seperti apa?”.

Lihat selengkapnya