Angin berhembus bermain dengan rambut tipisnya. Aku terus melihat ke arah sana karna entah kenapa aku tak mampu menatap matanya. Dia berjalan mendekat ke arahku, memberikan senyuman tipis sebelum akhirnya duduk di sampingku.
Aidan mengikuti arah pandanganku yang melihat ke arah pohon di pinggir lapangan. “Apa kamu masih suka lihat pohon?”
Dia tau? Kenapa dia tau kalau aku suka melihat pohon disini?.
Aku tetap diam mencoba memahami situasi ini.
Kenapa dia bisa tau aku dulu sering kesini untuk melihat pohon?.
Aku menganggukan kepala.
“Em... bukankah menurutmu pohon itu juga bagus.” Aku melihat ke arahnya, melihat wajah samping miliknya yang sedang fokus menatap pohon.
“Mungkin,” gumamnya.
“Biasanya pohonya berdaun hijau tapi saat musim kemarau seperti sekarang daunnya berubah kekuningan, bukankah mereka terlihat seperti warna langit di sore hari.” Aku menoleh ke arahnya memberikan senyum kemenangan.
“Musim kemarau yang dingin.”
“Mirip musim gugur,” kataku dengan semangat.
“AH iya, sepertinya kamu terobsesi dengan musim gugur.”
Aku menoleh ke arahnya tatapan kita saling bertemu. Aku tak bisa lagi mengatakan satu katapun. Rasanya matanya sudah mengunciku, membuat semuanya menjadi diam bahkan mungkin waktupun ikut berhenti sebentar. Memberikan ruang bagi aku untuk menatap ke dalam dirinya melalui matanya.
Aidan mengajak aku mampir ke toko buku milik bibinya, tempatnya tidak terlalu jauh dari lapangan yang tadi. Dia mengajak aku untuk jalan kaki saja karna kita tidak bisa naik sepeda bersama tentu saja. Di sepanjang jalan kami hanya diam dalam keheningan masing-masing, aku sudah terbiasa dengan situasi ini. Meskipun kita dulu sering pulang bersama, nyatanya dia memang tidak banyak bicara. Meskipun dikenal sebagai anak pembuat onar, saat sekolah dia tidak pernah banyak bicara seperti teman-teman mainnya. Sebaliknya, aku malah menyukai keheningan ini. Situasi ini membiarkan indraku menjadi lebih fokus pada suasana sekitar.
Toko buku milik bibi Aidan cukup besar dan nyaman. Disini juga disediakan kursi malas dan bean bag, sangat nyaman untuk membaca buku disini.
“Mau minum kopi?” tanya Aidan.
Aku diam sejenak “Em...air putih saja”
“Oke...kopi susu.”
“HA?” Aku bingung dengan maksud Aidan.
“Kamu pasti tidak suka dengan yang pahit-pahit,” tebaknya.
“Emang ada yang suka kepahitan?” tanyaku.
“Pecinta kopi?” Aidan mengerutkan kening.