Bayangan masa lalu yang terkadang susah dilupakan. Merangkak naik disaat semua luka sudah mulai sembuh dan akhirnya menghancurkan segalanya. Dari situlah kita belajar bahwa hidup adalah perjuangan. Bahwa luka merupakan tanda bahwa kamu harus berjuang untuk hidup.
🍀🍀🍀
“Rahasia apa?” Aku berbalik dan menatap ke arah Aidan.
Aidan terlihat sedikit kaget dengan pertanyaanku. Dia menatapku lekat sepertinya sedang menimbang untuk memberitahuku atau tidak. Suara angin yang memacah kesunyian membawaku terbang menuju ke ingatan di masa lalu. Saat kali pertama dia menemukan aku di kebun belakang sekolah waktu itu.
“Sebenarnya... saat kamu pindah sekolah, aku pernah pergi ke kebun belakang sekolah. Dan aku menemukan sesuatu.” Aidan sedikit menunjukkkan senyum yang justru terasa menyedihkan.
“Rupanya kamu berhasil menemukannya. Lukisan buatanku,” kataku lirih. Aku kembali merasakan kepahitan teringat saat itu.
“Apa kamu sengaja meninggalkannya disana untukku?” tanya Aidan.
“Itu hanyalah perasaanku di masa lalu,” suaraku sedikit bergetar. Aku bahkan tak mengerti kenapa aku harus merasa begini.
Entah kenapa perasaan sedih yang dulu aku rasakan kembali meluap keluar dari dalam diriku. Padahal Aidan bukan siapa-siapa lagi. Padahal selama delapan tahun ini aku merasa sudah melupakan dia. Bukankah waktu selama delapan tahun seharusnya sudah cukup untuk menghapuskan kenangan.
“Lalu apakah itu ada hubungannya dengan gosip yang Katherin bilang waktu itu?” Aidan mendekat, menghilangkan jauhnya jarak diantara kita. Dia menatapku lekat, seolah ingin membaca rahasia di dalam mataku.
“Itu...”
Aku bingung harus menjawab apa pada Aidan. Kenangan delapan tahun lalu yang sudah samar-samar ku lupakan dan hampir menghilang kembali menjadi semakin jelas. Perasaan sedih saat itupun juga semakin jelas. Dan kini kenangan itu telah benar-benar kembali lagi. Mengisi kepalaku.
Flashback delapan tahun yang lalu.....
November 2014
Angin dingin mulai berhembus mengawali mulainya musim hujan. Angin yang menggerakkan tirai jendela kelas ikut membelai kulitku, menyadarkan aku dari rasa kantuk. Aku mengecek jam dinding di depan kelas, untung saja kelas ini akan segera berakhir. Bukannya aku benci pelajaran Fisika yang sedari tadi dijelaskan oleh Bu Martini. Tetapi otakku saja yang sepertinya tidak sanggup menerimanya. Yang aku tulis di buku tulisku hanya sebuah rumus fisika F Aksi = - F Reaksi. Yang aku pahami dari penjelasan Bu Martini dari rumus tersebut adalah jika kita memberikan gaya pada sesuatu maka kitapun akan mendapatkan gaya balasan dengan besar yang sama. Singkatnya seperti memberi dan menerima, sepeti itulah yang aku pahami. Suara Bu Martini di depan kelas sudah menjadi seperti bacaan dongeng bagiku. Mengantarkan aku untuk kembali terlelap ke peraduan mimpi-mimpi tak bertepi.
“Elena!” panggil Katherin yang membuatku terlonjat kaget.
“Apaan sih!, kaget tau,” kataku lirih. Aku sedikir jengkel dengan Katherin.
Untung saja sekarang ini Katherin tidak menggunakan suara sopran nya itu. Kalau tidak kita sudah jadi bulan-bulanan Bu Martini. Meskipun kita duduk di belakang terkadang suara Katherin bisa terdengar sampai ke depan kelas. Alhasil kita sering sekali dapat teguran dari para guru.