Aku masih diam dan menatap Aidan yang sedang duduk di kursi ruang tamu. Tangan kanannya dibalut dengan gips yang disangga menggunakan arm sling di pundaknya. Di sampingnya ada Bibi Aitria yang melihat ke arah ku dan menunjukkan senyumnya. Paman yang duduk di kursi di depan mereka memandangi ku dengan wajah bingung. Setelah aku melayangkan pandangan pada sekitar aku kembali fokus pada Aidan.
Apa yang terjadi? Kenapa tanganya dibalut gips begitu?
“Tangan kamu kenapa Aidan?” tanyaku lagi karna sedari tadi tidak ada yang menjawab.
“Aih ini....” Aidan menunjuk tangan kanan yang dibalut gips dengan tangan kirinya, “bukan apa-apa”.
“Dasar memang dia ini anak ceroboh Elena. Kemarin dia jatuh dari motor terus patah tulang deh tangannya,” jeas bibi Aitria padaku.
“Ha! Kok bisa sih?!”
“Panjang cerintanya. Sekarang kita berangkat aja dulu ke sekolah. Hari ini bibi antar kalian, sekalian bibi mau minta tolong sama kamu.”
Aku berpamitan dengan paman. Setelah itu, aku, bibi Aitria dan Aidan berangkat bersama ke sekolah menggunakan mobil milik bibi Aitria. Bibi berada di posisi pengemudi dan aku duduk di disampingnya, sedangkan Aidan sendirian di belakang. Setelah keheningan yang cukup lama, akhirnya bibi Aitria membuka suara.
“Jadi, sebenarnya bibi mau minta tolong sama kamu untuk mengawasi Aidan, Elena,” ucap Bibi Aitria menengok ke arahku sebentar sebelum memfokuskan penglihatan ke arah jalanan lagi.
Mengawasi ? Maksudnya apa? Kenapa Aidan harus diawasi?.
Aku diam dan menatap Bibi Aitria cukup lama sebelum melirik ke belakang di tempat Aidan duduk. Dia hanya terdiam santai seolah ucapan bibinya tadi bukanlah hal yang harus dia beri perhatian.
“Kenapa saya harus mengawasi Aidan?” tanyaku karna belum paham maksud Bibi Aitria.
“Kamu lihat kan tanganya. Pastikan jangan sampai dia bolos sekolah lagi Len. Dan kamu tolong bantu dia ya, pasti dia kesusahan.”
Baiklah. Sepertinya ini juga bukan ide buruk. Pasti dia butuh bantuan, tidak ada salahnya kan membantu Aidan. Aku melirik ke arah Aidan lagi, tapi sekarang dia berbeda. Dia tersenyum. Tersenyum padaku. TERSENYUM. Astaga!. Tapi kenapa aku merasakan firasat buruk. Perutku, aku merasakan sesuatu di perutku. Dan aku tidak tau itu perasaan apa. Aku merasa aneh. Aku langsung berbalik lagi ke arah depan memandangi jalanan. Debaran jantungku semakin cepat dan nafasku terasa sesak.
🍀🍀🍀
Dan sekarang disinilah aku. Duduk disamping Aidan. Tepat disampingnya. Dan tanganku. Tanganku menyuapi dia makanan. Sedari tadi aku berusaha untuk mengatur nafas dan menyembunyikan kegugupan supaya tanganku ini tidak gemetaran.
Jadi cerita singkatnya. Kemarin Aidan beserta teman-temannya itu terlibat perkelahian. Memang dasar cowok. Hobinya pamer kekuatan. Lalu setelah itu, mereka sekarang tampak sangat berantakan dengan luka lebam dimana-mana. Tetapi, hanya Aidan mengalami kesialan lebih daripada yang lainnya karna hanya dia seorang yang sampai patah tulang.
Seharusnya mereka kena skors tapi khusus untuk mereka, tidak. Karna tentu saja itulah yang mereka inginkan. Jadi, sebagai hukuman mereka harus membersihkan sekolah selama satu bulan setelah mereka pulih dari cidera.
Setelah beberapa saat, kantin menjadi semakin ramai dan tentunya kami menjadi pusat perhatian seperti biasanya tapi sekarang menjadi semakin parah. Mungkin bisa dibilang begitu. Semua orang menaruh perhatian dan pandangan mata tajam pada kami, aku mau tidak mau harus ikut jadi pusat perhatain. Ini membuatku sangat tidak nyaman. Aku ingin mengilang saja sekarang juga. Aku seperti tenggelam dalam kecemasanku.
“... lagi Len.”