Melupakan. Mengapa kita justru lebih sulit melupakan kenangan yang menyakitkan?
🍀🍀🍀
Desember 2014
Daun-daun hijau yang basah meneteskan air, ikut membasahi tanah yang sedari tadi juga telah basah dan tergenang air. Hujan yang turun sejak pagi enggan pergi hingga tengah hari. Matahari yang seharusnya sudah menampakkan kekuatannya pun telah terkalahkan oleh awan mendung.
Katanya bumi dan alam semesta akan berakhir dalam keadaan dingin. Dan entah karena itulah mungkin menjadi alasan aku membenci dingin, tetapi aku menyukai bau hujan. Kadang begitulah manusia dapat menyukai dan membenci satu hal yang sama.
Aku berdiam diri memandang ke arah keluar. Pemandangan di luar tidak bisa terlihat jelas karena jendela kelas dipenuhi dengan embun air hujan. Padahal hari ini aku punya rencana untuk melukis, tetapi rencana itu gagal. Aku mengerutkan bibirku, menggerutu dengan suara rendah.
Terlebih lagi suasana kelas saat ini sangat berisik, hampir semua anak di kelas sedang sibuk membahas lomba antar kelas memperingati aniversary sekolah. Sepertinya, aku tidak bisa ikut berpatisipsi dalam lomba ini, karena sudah dapat dipastikan aku bukanlah orang yang dapat membawa kemenangan dalam hal ini. Berbagai macam lomba kebanyakan berasal dari bidang olahraga, karena katanya hal ini akan membangun semangat. Aku memilih mengabaikan mereka dan tenggelam dalam lamunanku sendiri menikmati pemandangan hujan di luar.
“... biar Elena aja,” kata suara familiar yang membuatku menoleh ke arah sumber suara. Risky sudah tersenyum lebar ke arahku. Kenapa lagi dengan anak ini?
“Bentar... kenapa sih ky?” tanyaku bingung. Aku yang sedari tadi tidak menyimak semua perbincangan anak yang ada di kelas tidak tau menahu sedang terlibat dengan hal apa.
“Aku tau kamu dari tadi sedang melamun, makanya sebagai hukuman kamu harus ikut lomba lari estafet.”
Aku langsung bisa melihat raut wajah yang menunjukkan kesetujuan anak sekelas dengan jelas.
“HAH!! Tapi aku nggak jago lari Ky. Bisa-bisa kita malah kalah,” ucapku mencoba mencari-cari alasan.
“Tidak boleh menyerah sebelum mencoba.” Risky terus berusaha menyangkal alasanku dan membuatku mau tak mau menerima saja sebelum menjadi bulanan anak satu kelas.
“Hah!, okelah,” jawabku tak bersemangat.
“Bagus,” Risky langsung tersenyum lebar dan mengarahkan dua jempolnya padaku.
Yah, mau bagaimanapun ini yang hasil paling lumayan yang bisa aku dapatkan. Karena kebanyakan siswa sudah terbagi dalam tim futsal, voli dan basket. Bahkan Katherin sudah ada dalam tim voli mewakili kelas mengikuti lomba.
Manusia yang bisa dibilang beruntung saat ini adalah Aidan, karena tangannya yang cidera belum sembuh total, jadi dia bisa istirahat dari keharusan mengikuti kegiatan lomba. Saat inipun karena aku sedikit repot dengan urusan klub, yang akan mengadakan pameran lukisan saat aniversary, aku tidak bisa sering bersama Aidan lagi saat makan siang.
Aku menengok ke arah tempat duduk Aidan. Sedari tadi pagi wajahnya terlihat masam. Saat pagi hari tadi pun dia sudah begitu. Dia yang biasanya lebih suka naik bis malahan tadi pagi mengabari bahwa dia ingin naik mobil. Kami diantar ke sekolah oleh Bibi Aitria.
Apa mungkin dia benci becek? Hah, lelaki macam apa dia ini.