Kerajaan Mawar
Mereka menyebutnya mahkota peradaban. Kerajaan mawar, dipahat dari marmer, diharumkan oleh festival, dan dilukis dengan puisi-puisi orang bodoh.Namun kecantikan hanyalah topeng. Dan yang satu ini membusuk di bawahnya.
Kerajaan Mawar, yang terletak di timur Eldora, adalah tempat istana-istana putih menembus langit, tempat musik mengalir bagai anggur, dan tempat para bangsawan menari menembus keabadian dengan tangan tak berdarah.
Dari jauh, tampak seperti surga. Dari dekat, itu adalah katedral kekejaman. Di bawah jalanan marmer itu, anak-anak kelaparan di antara tikus-tikus. Perempuan dijual. Keadilan berdarah dalam diam di lorong-lorong tempat matahari lupa bersinar. Mereka menyebut kerajaan ini suci. Namun kesucian tak berarti apa-apa bagi yang mati.
Dan yang hidup? Mereka terus tersenyum. Karena ketika kau lapar terlalu lama, bahkan cambuk pun terasa seperti perhatian.
—
Panggung Sang Pahlawan
Lalu muncullah sebuah nama yang membelah langit berkabut bagai secercah harapan palsu: Gilles de Vire. Seorang pria berwajah ramah, dengan kata-kata manis yang menetes bagai madu dari lidah yang terlatih. Ia dikenal sebagai penyelamat perekonomian kerajaan.
Ia menurunkan pajak, membangun panti asuhan, membuka lapangan kerja, dan mengisi kas negara. Ia membuat kaum miskin percaya bahwa mungkin... hanya mungkin... keadilan masih bisa lahir dalam tubuh manusia.
Hari itu adalah ulang tahun putrinya yang ke-16. Sebuah festival besar digelar di halaman istana: lentera-lentera yang tergantung, musik, tawa, dan hamparan bunga merah muda menari-nari di udara.
Para bangsawan berdiri di sisi kanan panggung dengan pakaian mereka yang mencolok; rakyat jelata berdiri di sisi kiri, dengan sedikit harapan di mata mereka—hanya ingin percaya bahwa pria itu baik. Anak-anak yatim piatu juga diundang, dibungkus kain bersih bak boneka, siap dipamerkan.
Di atas panggung, Gilles berdiri di antara istri dan putrinya. Ia mengangkat tangannya, dan lautan manusia—miskin dan kaya, bersih dan busuk—bersorak untuknya.
Bunga-bunga dilemparkan ke arahnya, memenuhi panggung dengan warna dan aroma yang memabukkan.
Di tengah lautan itu, berdiri seorang gadis. Ia tampak biasa saja—terlalu biasa saja. Rambut hitam legam, mata gelap tanpa pantulan cahaya lentera, wajahnya tak tertutup topeng pesta atau riasan pengemis.
Ia hanya berdiri, menatap lurus ke arah Gilles dan keluarganya, tanpa membungkuk, tanpa bersorak. Ia maju perlahan. Tak seorang pun menghentikannya. Tak seorang pun memperhatikan.
Ia hanya menaburkan satu jenis bunga: mawar merah—tunggal dan berduri, tak seperti yang lain. Senyum tipis tersungging di wajahnya yang seputih abu. Lalu ia menghilang, menghilang di antara kerumunan bagaikan kabut pagi yang tahu kapan harus menghilang.
Gilles tak mempermasalahkannya.Baginya, ia hanyalah pengunjung biasa—gadis biasa yang mungkin ingin memberikan sedikit pujian.
—
Mawar Berdarah di Balkon Neraka
POV: Keluarga de Vire
Malam tiba bagai kain kafan yang menyelimuti langit kerajaan.
Di balkon istana yang dibangun dari marmer putih dan jendela-jendela berkaca kristal, keluarga bangsawan De Vire duduk bersama dalam kehangatan palsu.
Angin malam dengan lembut meniup lampu gantung di atas mereka, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergoyang bagai hantu masa lalu.
Gilles terkekeh. Di sampingnya, Helen de Vire tersenyum lembut, sementara Joanna—putri tunggalnya, Anna—menatap ayahnya dengan mata penuh kekaguman, bagaikan gadis kecil yang menatap dewa.
"Ayah," bisik Anna sambil memeluk lututnya di kursinya, "kalau aku besar nanti, aku ingin menjadi pahlawan sepertimu. Bolehkah?"
Gilles terdiam. Keheningan yang menggantung bagai tali di udara. Wajahnya menggelap sesaat, seolah bayang-bayang masa lalu mencengkeram dadanya. Akhirnya ia tersenyum. Tipis. Terpaksa.
“Tentu saja boleh… Anna akan segera masuk Akademi Sihir Oxoed, kan? Di sana, kau akan belajar menjadi pahlawan hebat… seperti Ayah.”
Anna berseri-seri. Ia menggenggam tangan ibunya.
"Aku akan bekerja keras! Aku akan membantu Ayah menyelamatkan kerajaan!"
"Kau gadis yang baik."
Hellen pun ikut tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.
"Anna memang gadis yang baik. Suatu hari nanti, dia akan tumbuh menjadi pahlawan sepertimu... sayang."
Namun Gilles hanya menjawab dengan diam dan senyum yang semakin dingin. Senyum seseorang yang tahu bahwa dunia tidak akan sebaik yang diharapkan putrinya.
Di tengah kehangatan keluarga, suara sepatu besi yang mengetuk lantai terdengar. Seorang kesatria muncul di pintu balkon, tubuhnya menegang karena hormat.
"Tuanku, barang pesananmu... telah diamankan. Sekarang ada di bawah."
Suara itu menusuk bagai jarum dingin.
Wajah Gilles langsung berubah. Ia menoleh cepat dan tajam.
"Tom... Sudah berapa kali kukatakan—jangan bicara soal perdagangan saat aku bersama keluargaku!"
Ksatria itu menundukkan kepalanya, gemetar.
"Maaf, Tuanku. Aku lupa... masih terbawa suasana pesta."
"Kalau kau mengerti, pergilah."
Ksatria itu membungkuk dan menghilang ke lorong. Namun tak seorang pun menyadari malam itu—koridor istana tak lagi aman.
"Ayah, benda apa itu?" tanya Anna polos.
"Hanya barang dagangan, sayang. Itu tak penting bagimu."
"Ya, dengarkan ayahmu. Tugas Anna adalah belajar, mengerti?" Hellen mengelus rambut putrinya.
"Aku mengerti!" Anna terkekeh.
Namun malam itu bukan untuk tertawa.
Malam itu... adalah untuk menghakimi.
Semuanya dimulai dengan halus.