POV: Joanna de Vire
Aku selalu menyukai malam.
Langit tampak begitu damai dari balkon istana. Angin malam membawa aroma lavender dari taman di bawah. Dan suara Ibu, tawa Ayah... semuanya terasa utuh. Aman. Hangat.
Ayah duduk di kursi rotan, menyendok buah dari piring perak sambil bercanda. Ibu tertawa pelan. Aku bersandar di lengannya, dan sesekali menggodanya dengan lelucon ringan.
"Ayah, kalau aku besar nanti, aku ingin jadi pahlawan seperti Ayah. Bolehkah?"
Ayah terdiam. Hanya sesaat, tapi keheningan itu terasa panjang... seperti dinding dingin yang tiba-tiba berdiri di antara kami. Tapi kemudian ia tersenyum, seperti biasa.
"Tentu saja boleh... Anna akan segera masuk Akademi Sihir Oxoed, kan? Di sana, kau akan belajar menjadi pahlawan hebat... seperti Ayah."
Aku mengangguk mantap.
"Aku akan bekerja keras! Aku akan membantu Ayah menyelamatkan kerajaan!"
"Kau anak yang baik," kata Ayah sambil menepuk kepalaku.
Ibu menjawab, seperti biasa, dengan senyum hangat:
"Anna memang gadis yang baik. Suatu hari nanti, dia akan tumbuh menjadi pahlawan sepertimu... sayang."
Tiba-tiba seorang kesatria menemui ayahku, ia membungkuk hormat dan berkata:
"Tuanku, barang-barang pesananmu... telah diamankan. Sekarang ada di bawah."
Ayahku kesal karena merasa waktu keluarga terganggu, ia berkata:
"Tom... Sudah berapa kali kukatakan—jangan bicara soal perdagangan saat aku bersama keluargaku!"
Kesatria itu menundukkan kepalanya, gemetar. Lalu ia pergi setelah berpamitan.
Aku penasaran dengan barang-barang pesanan ayahku, aku bertanya:
"Ayah, barang apa itu?"
Ayahku langsung menjawab:
"Hanya barang dagangan, sayang. Itu tidak penting bagimu."
Ibuku juga menimpali:
"Ya, dengarkan ayahmu. Tugas Anna adalah belajar, mengerti?"
Aku percaya pada orang tuaku. Lagipula, ayahku tidak pernah berbohong kepadaku.
Aku ingin mempercayai itu. Aku ingin percaya semuanya baik-baik saja.
Tapi… entah kenapa malam itu terasa aneh. Terlalu sunyi. Terlalu… lembut. Seperti ketenangan sebelum sesuatu pecah.
Lalu… aroma itu datang.
Aroma mawar.
Ringan. Lalu perlahan menguat. Tidak seperti bunga dari taman. Lebih… pekat. Seperti besi. Seperti luka.
“Sayang, apa kau mencium aroma mawar?” tanya Ayah, suaranya agak tegang.
“Sedikit… ya.” jawab Ibu. “Apa kau pakai parfum, Sayang?”
“Tidak…”
Aku menoleh menatap wajah Ayah—wajah yang selalu tampak kuat. Tapi malam itu, ia tampak… takut. Matanya gemetar. Dahinya basah. Aku belum pernah melihatnya seperti itu sebelumnya. Tidak di depan siapa pun.
Lalu… suara itu datang.
Suara seorang wanita. Lembut. Tapi seperti berbisik langsung ke sumsum tulangku.
“Apa kau takut? Itu wajar. Orang berdosa selalu tahu kapan saatnya mereka dibantai.”
Aku berbalik cepat. Sosok itu muncul dari lorong.
Seorang wanita. Bergaun merah. Berambut perak. Bermata biru tanpa ampun. Di tangannya—sebuah kepala yang terpenggal.
Satu kepala masih meneteskan darah ke lantai marmer.
“Gilles de Vire,” katanya datar, “kau telah menjadi begitu nyaman hingga kau melupakan dosa-dosamu.”
Ayahku bergidik.
“Para penjaga!? Di mana para penjaga!?”
“Di kakiku.”
Ia melempar kepala itu ke lantai.
Itu adalah kepala ksatria yang telah berbicara kepada ayahku.
Ibuku menjerit. Aku... tidak tahu harus berbuat apa. Kakiku lemas. Tanganku mencengkeram gaun ibuku, tetapi jari-jariku gemetar.
“Siapa kau?” tanya ayahku.
“Mawar Darah,” jawabnya. “Dan malam ini, aku datang untuk menghakimimu.”
Ayahku mencoba membela diri.
Menyebut 'ekonomi kerajaan', 'darurat', 'terpaksa'... Tapi wanita itu tak bergeming.
Dia bicara tentang anak yatim.
Tentang pesta ulang tahunku.
Tentang anak-anak yang dikurung di penjara bawah tanah.
Aku... tak mengerti. Aku tak tahu... Tidak... aku tak mengerti...
"Kumohon... Istriku... anakku..."
Lalu pedangnya menusuk leher Ayah.
Darah menyembur. Mengotori wajahku.
Aku tak bisa berteriak. Tak bisa bergerak.
Aku hanya... duduk. Memeluk Ibu yang pingsan.
Darah Ayah mengalir ke ubin marmer. Perlahan, pekat, dan aroma mawar semakin kuat.
"Pengampunan hanya milik korban," katanya.
"KENAPA?! Kenapa kau membunuh ayahku?!" teriakku.