POV: Warga Kota Menyaksikan Pahlawan Disalib
Pagi menyingsing perlahan—
bukan seperti awal,
melainkan seperti sisa-sisa malam yang sekarat.
Matahari terbit bukan untuk bersinar,
melainkan untuk menyaksikan.
Langit tampak terlalu bersih, terlalu damai,
seolah-olah alam semesta sendiri sedang mencoba melupakan
bahwa tadi malam ia telah meminum darah.
Namun kota itu terlalu sunyi. Tak ada suara pasar. Tak ada anak-anak. Hanya angin—dingin, dan membawa bau besi pengering.
Seorang ibu berjalan di sepanjang jalan setapak batu. Keranjang rotan di tangannya bergoyang pelan. Ia ingin membeli roti dan susu, seperti biasa. Namun pagi ini...bukanlah pagi yang biasa.
Alun-alun kota yang biasanya penuh dengan tawa dan sorak-sorai pedagang kini kosong. Sunyi. Terhampar bagaikan altar untuk sesuatu yang telah dikorbankan.
Langkahnya terhenti. Napasnya tercekat. Di tengah lapangan, sebuah salib menjulang tinggi.
Bukan dari kayu... melainkan duri hitam dan tangkai mawar merah darah, seolah tumbuh dari dosa-dosa bumi itu sendiri.
Dan tergantung di atasnya—sebuah tubuh. Lemah. Terhuyung-huyung. Terdiam dalam kehinaan abadi.
“Apa… itu…?”
Ia mendekat, perlahan.
Namun begitu ia melihat wajah biru itu—matanya terbelalak, dan teror menjerit dari dadanya.
“B-Badan…! Ada tubuh di kayu salib! TOLONG! PEMBUNUHAN! PEMBUNUHAN DI ALUN-ALUN!”
Jeritannya memecah pagi, menggetarkan jendela-jendela kayu, membangunkan kota dari mimpi buruknya.
Jendela-jendela terbuka. Pintu-pintu terbanting terbuka. Selangkah demi selangkah menuju pusat alun-alun. Dan ketika mereka tiba, dunia berubah.
Jeritan itu berubah menjadi isak tangis. Isak tangis berubah menjadi raungan. Dan pagi itu menjadi neraka yang terbuka.
Gilles de Vire.
Nama yang dulu dianggap sebagai pelindung ekonomi, menteri keuangan, pahlawan rakyat, cahaya di tengah krisis, kini terkapar tak bernyawa, terpampang bak anjing mati, di atas salib mawar darah.
Kepalanya tertunduk. Matanya kosong. Dan bibirnya membeku dalam ekspresi ketakutan terakhir yang datang terlambat. Orang-orang berkumpul.
“Mustahil! Ini bukan Gilles! MUSTAHIL!”
seorang pria gemuk berteriak, napasnya memburu.
“Ini fitnah! Ini... ini GILA!”
seorang pria kurus berteriak, wajahnya gemetar.
Namun kemudian—
mereka melihatnya.
Setangkai mawar tumbuh dari tanah.
Dan di ujungnya,
tergantung selembar kertas pudar,
basah kuyup oleh embun dan darah.
Daftar Dosa.
Di sana tertulis: Gilles de Vire. Dan di bawahnya baris demi baris tuduhan:
Perdagangan anak yatim.
Menjual gadis-gadis kecil ke rumah bordil bangsawan.
Penipuan pajak.
Penggelapan dana panti asuhan.
Pembunuhan seorang saksi muda.
Eksperimen narkoba pada anak jalanan.
Tidak ada yang menyangkalnya. Terlalu detail. Terlalu dingin. Terlalu nyata. Dan di bawahnya:
"Ketika hukum kerajaan mati, akulah hukumnya. Darah ganti darah." —Putri Mawar Darah
Itu bukan sekadar pengumuman. Itu adalah vonis. Ditulis dengan tinta dari urat nadi dunia yang terkoyak.
Dan orang-orang tahu... ini bukan pembunuhan. Ini adalah penghakiman.
"Putri Mawar Darah... dia melakukannya..."
bisik seorang gadis muda, suaranya gemetar.