Mawar Darah: Belas Kasih Terakhirnya adalah Kematian

Eldoria
Chapter #4

Vol 1 Bab 4: Di Tangan yang Tidak Terbakar

Ketika Kekuasaan Dihina Mawar

POV: Para Ksatria

Matahari bersinar terang sore itu, tetapi cahayanya tidak terasa hangat, melainkan seperti mata langit yang menatap tajam ke arah aib kekuasaan yang terpampang di tengah alun-alun.

Sebaris ksatria kerajaan menunggang kuda putih, baju zirah mereka berkilau, panji-panji kerajaan berkibar. Namun, tak ada tepuk tangan. Tak ada sorak kemenangan. Hanya tatapan diam rakyat yang menyaksikan para pembela kekuasaan datang bukan untuk berduka, melainkan untuk menutupi kebenaran yang telah disalibkan.

“Kita akan membersihkan tempat ini. Sekejam apa pun pembunuhnya, kita tidak boleh membiarkan rakyat berpikir bahwa sistem telah kalah.”

Kata salah satu kapten ksatria dengan senyum miring dan suara penuh penghinaan.

Seorang ksatria melangkah maju. Ia menghunus pedangnya dan mencoba memotong sulur mawar darah yang melilit tubuh Gilles de Vire. Namun… mawar itu bukanlah tanaman biasa.

Tanaman merambat itu berdenyut. Menggeliat perlahan... seolah mengenali siapa yang mencoba menyentuhnya.

Dan dalam kesunyian sore—

mawar itu berbisik, lirih, namun langsung terdengar di jiwa:

"Aku membunuh yang bersalah... bukan yang berpura-pura."

Tubuh Gilles akhirnya diturunkan—dengan susah payah. Terbungkus kain putih. Terseret seperti bangkai kapal. Namun... kebenaran belum terkubur.

Secarik kertas berduri tergantung di ujung mawar.

Sebuah daftar dosa.

Tulisan hitam di atas abu, tintanya seperti darah beku dari pengakuan yang terlambat.

Seorang kesatria mencoba mengambilnya.

Sebuah tangan terulur...

Namun tiba-tiba—

brengsek.

Kulitnya melepuh.

"Aaarrgh!! Apa ini!? Sihir?!"

Ia menggigit bibirnya. Suaranya teredam. Lengannya gemetar karena rasa terbakar yang tak wajar.

"Lemah," gumam seorang kesatria lain. Ia melangkah maju, penuh ego dan latihan mulia.

Namun ketika jemarinya menyentuh kertas dosa, kulitnya meleleh bagai lilin dalam kutukan.

Teriakannya menggema di rumah-rumah. Namun tak seorang pun membantu.

Satu per satu mereka mencoba. Para ksatria elit. Para komandan berdarah bangsawan. Para veteran perang yang telah membantai monster di utara.

Namun masing-masing tangan...

dihukum.

Seolah-olah dunia sendiri berkata:

"Kau tak layak menyentuh kebenaran yang telah kau tutupi."

Salah satu dari mereka, duduk dengan tangan bengkak, berbisik:

"Kertas ini... hanya bisa disentuh oleh tangan yang tak ternoda."

Dan di tengah kebingungan dan rasa malu para pengawal takhta—

Alice Vermillion muncul.

"Biar kucoba," katanya tenang.

"GILA! Kau bisa kehilangan tanganmu!" teriak salah satu seniornya, mencoba menghentikannya.

Namun Alice hanya melangkah maju.

Dan tanpa ragu...

menyentuh kertas itu.

Tidak terjadi apa-apa.

Kertas itu tidak terbakar.

Tidak berdenyut.

Tidak memberontak.

Hanya saja... diam. Seolah mengakui:

"Kau... belum kotor."

Para ksatria terdiam. Beberapa mengertakkan gigi. Beberapa menundukkan kepala. Mereka tahu kerajaan mereka telah gagal dan seorang gadis muda baru saja mewarisi sesuatu yang lebih besar daripada pedang dan gelar.

Alice menatap daftar dosa itu. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena takut, melainkan karena beban yang belum ia pahami.

"Siapa kau, Mawar Darah...?"

Lihat selengkapnya