Ruang Kebenaran yang Tak Pernah Jujur
POV: Dewan Tertinggi Kerajaan Mawar
Hari itu, aula besar di jantung Istana Merah hening, namun dipenuhi napas tertahan—
dengan wajah-wajah yang terbiasa memerintah, namun kini... ketakutan.
Duduk mengelilingi meja perak bundar: para bangsawan tua, jenderal yang letih perang, para penasihat berlidah bercabang, para hakim agung yang memegang kitab hukum... dan di titik tertinggi—Raja Eldric El Rose, dengan mata batunya yang menyembunyikan badai dalam darahnya.
Di tengah lingkaran, hanya satu kursi yang ditempati oleh sosok yang tak pernah mereka pertimbangkan sebelumnya. Seorang gadis. Seorang ksatria muda.
Alice Vermillion.
Tangannya memegang kertas dosa—artefak terkutuk yang membakar tangan kotor dan menggigit jiwa-jiwa pengecut. Hanya dia yang boleh menyentuhnya. Dan karena itu semua mata tertuju padanya. Bukan dengan hormat... melainkan dengan ketakutan.
"Ini bukan sekadar pembunuhan!" seru salah satu bangsawan, wajahnya merah padam seolah akan meledak.
“Jika kita biarkan teroris ini hidup bebas, anak-anak kita—bahkan sang pangeran—bisa jadi korban berikutnya!”
“Ini pemberontakan,” kata seorang jenderal tua, suaranya sedingin baja yang tak lagi percaya pada kemenangan.
“Bukan hanya terhadap seorang individu… tetapi terhadap fondasi kerajaan kita.”
Lalu terdengar suara lain, lebih tua, lebih getir, seorang Menteri Pengadilan yang telah duduk di kursi kehakiman lebih lama daripada Alice hidup.
“Mawar Darah… bukan sekadar pembunuh. Ia menyusup ke istana,
membantai para pengawal elit, dan menyalibkan seorang adipati di jantung kota…”
“Yang kita hadapi… bukanlah manusia biasa.”
Keheningan.
Yang terdengar hanyalah gemerisik kain kerajaan dan detak detik tak kasatmata yang mengarah pada kejatuhan sistem. Di hadapan mereka… selembar kertas. Dosa. Fakta. Darah. Dan di hadapan mereka juga… gadis yang tak terbakar. Alice tak berbicara. Namun ia tak membungkuk. Tatapannya tetap tajam.
Dan di tengah keheningan itu, Raja Eldric El Rose yang selama ini terdiam mengangkat kepalanya. Wajahnya tak berubah. Namun mata seorang raja... dan mungkin, seorang ayah, bergetar. Karena ia tahu. Ia tahu nama di balik Mawar Darah. Ia tahu siapa dalang Mawar Darah yang meresahkan istana. Namun ia tak bisa mengatakannya. Tidak di hadapan para bangsawan. Tidak di hadapan militer. Tidak di hadapan sejarah.
"Kau... Vermillion," suara Raja lembut, namun menggema di dinding batu aula.
"Bacakan isi surat kabar... di hadapan kita semua."
Alice berdiri. Gulungan dosa dibuka. Dan sekali lagi, dosa-dosa Gilles de Vire dibacakan.
Bukan sebagai dakwaan. Melainkan sebagai pengingat tegas—bahwa istana pernah melindungi monster berwajah manusia.
Baris demi baris.
Keheningan.
Lalu... gumaman amarah.
Ketakutan bercampur kebenaran.
Beberapa bangsawan berpaling.
Beberapa jenderal menggertakkan gigi.
—
POV: Raja Eldric El Rose
Di tengah gema suara Alice yang melafalkan dosa-dosa Gilles baris demi baris, Raja Eldric El Rose duduk dengan wajah datar di singgasananya. Namun, bukan suara ksatria muda itu yang terdengar di telinganya. Melainkan... suara putrinya sendiri.
Suara Marry El Rose, yang menggugat ayahnya di tengah aula kerajaan, dengan darah yang telah mengubah hukum. Setiap tuduhan yang dilontarkan Alice adalah tamparan di wajah kekuasaan. Dan Eldric tahu... ia bersalah. Karena ialah yang telah menutup mata.
—
Kilas Balik: Rahasia Tergelap Seorang Ayah
Dahulu kala, di ruang bawah tanah istana, yang tak tercatat dalam arsip sejarah resmi, kerajaan melakukan eksperimen rahasia: Proyek Mawar Darah.
Tujuannya: Menciptakan ksatria sihir terkuat dalam sejarah Kerajaan Mawar. Sesosok makhluk yang mampu menaklukkan semua musuh dalam satu tarian darah.
Dan mereka memilih seorang hamba yang tak bisa menolak perintah kerajaan... Putri sang Raja sendiri: Marry El Rose.
“Kau akan menjadi senjata pelindung. Seorang putri pelindung. Inilah takdirmu sebagai seorang bangsawan,” kata Eldric saat itu, bukan sebagai seorang ayah, melainkan sebagai raja yang berkuasa.
Namun di laboratorium gelap itu, Marry melihat lebih dari sekadar sihir. Ia melihat anak-anak, dirantai. Disuntik. Dibungkam. Tangisan mereka memenuhi malam demi malam bagai hujan yang tak henti-hentinya. Dan Marry berusaha menyelamatkan mereka…
Namun setiap kali ia mendekat, suara itu terdengar:
“Tinggalkan mereka, Marry. Atau Elvyn akan membayar harganya.”
Elvyn El Rose.
Adik laki-lakinya.