"Hukum mungkin lupa. Tapi darah tak pernah tidur."
Investigasi Kasus Gilles
POV: Alice Vermillion
Di ibu kota Kerajaan Mawar, di balik jendela-jendela kaca patri yang menjulang tinggi di istana kerajaan, matahari pagi menerpa lantai marmer bagai pedang emas, menembus kesunyian. Koridor-koridor yang sunyi dipenuhi gema derap sepatu bot dan langkah anggun jubah panjang.
Di tengah berdiri seorang ksatria muda, berambut pirang keemasan dan bermata biru langit.
Alice Vermillion. Sebuah simbol kebajikan dan integritas hukum di tengah kerajaan yang terpecah belah.
Di hadapannya berdiri seorang pria tua berjubah merah marun, sosok yang dikenali semua pengawal istana: Vlad de Dracul, Komandan Pengawal Kerajaan. Tatapannya tajam dan suaranya sedalam ruang sidang itu sendiri.
"Alice," katanya dengan nada datar.
"Kau akan menyelidiki kasus Gilles de Vire.
Kita butuh konfirmasi hukum untuk menyatakan Mawar Darah sebagai ancaman bagi kerajaan.
Ambil surat perintah ini."
“Temukan kebenarannya.
Dan… lacak keberadaannya.”
Alice menerima gulungan perintah yang disegel dengan lilin kerajaan, serta selembar kertas dosa—mencatat kejahatan Gilles dengan darah, yang mustahil dipalsukan.
Langkahnya tak tergesa-gesa. Namun hatinya tak bisa tenang.
—
Menuju Mansion de Vire
Perjalanannya membawanya ke rumah mewah Gilles, yang berdiri megah di pinggiran ibu kota Mawar, utuh di luar… tetapi hancur di dalam.
Ketika ia tiba, Alice disambut bukan dengan sapaan hormat, melainkan dengan tatapan meremehkan dari para bangsawan setempat—sisa-sisa pengikut Gilles yang tidak berada di rumah itu pada malam penghakiman berdarah.
Mereka membungkuk hanya sebagai formalitas.
“Nona Alice… kami tidak menyangka Anda mengotori sepatu Anda di tempat ini.”
“Pengadilan belum memutuskan apa pun. Tindakan Mawar Darah tetaplah pembunuhan.”
“Kita semua… hanyalah pelayan. Kita tidak tahu apa-apa.”
Alice tidak menjawab.
Namun ketika ia mengucapkan nama itu—“Mawar Darah”—ketegangan menusuk udara bagai guntur yang sunyi.
Wajah mereka mengeras.
Ketakutan membeku.
Penghakiman… tidak hanya membunuh.
Ia meninggalkan bayangan dalam jiwa yang bahkan tak tersentuh.
—
Mayat Para Pendosa
Di halaman rumah besar.
Mayat-mayat.
Lebih dari seratus mayat, tersusun dalam barisan panjang, ditutupi kain putih bernoda.
Beberapa ksatria sedang menyusun barisan, tangan mereka kaku, mata mereka gelap.
Alice berdiri di tepi.
Tangannya menutupi hidungnya, tetapi bukan karena bau busuknya, melainkan karena sesuatu yang lebih halus:
Aroma mawar darah.
Aroma yang terlalu indah untuk kekejaman seperti itu.
Manusia-manusia busuk yang dulu hidup dengan kekuasaan kini terbaring dalam keheningan yang memilukan.

"Mereka semua… penjahat," pikir Alice.
"Tapi tetap saja… ini pembantaian."
Matanya tajam menatap barisan mayat yang dulunya antek-antek Gilles.
"Blood Rose… kau benar-benar membantai mereka semua tanpa ampun…"
Tapi bukan amarah yang ia rasakan.
Melainkan campuran rasa hormat dan takut, kekaguman dan pertanyaan.
Alice menggelengkan kepalanya perlahan, lalu melangkah masuk ke dalam mansion.
Interior mansion itu bagaikan museum kesombongan.
Dinding berlapis emas, lampu kristal, lantai marmer—semua gemerlap kekuasaan yang kini menjadi reruntuhan jiwa.
Tapi Alice tak menghiraukan kecantikan palsu ini.
Ia menuju ruang tamu.
Ia menyentuh kenop pintu berukir singa.
Di balik pintu itu…
Fakta. Bukan rumor.
Bukti. Bukan propaganda.
Surat perintah di tangan kanannya. Surat dosa di tangan kirinya.
Ia akan membuka lebih dari sekadar pintu.
Ia akan menyingkap luka-luka yang telah disembunyikan dengan anggur dan permadani.
—
Memasuki Mansion
Langkah kaki Alice bergema lembut di lorong-lorong marmer mansion Gilles de Vire, tempat yang dulunya merupakan simbol kehormatan mulia, kini menyimpan aroma kematian yang tak kunjung hilang. Tirai-tirai mahal tak lagi memamerkan siluet keemasannya, melainkan diselimuti duka dan sejarah yang dihitamkan oleh darah.
Saat Alice melangkah memasuki ruang tamu yang besar dan dingin, ia disambut oleh sosok tua yang membungkuk sopan: Pauli de Vire, seorang pria berambut seputih abu yang jatuh dari lilin waktu. Ayah Gilles. Kakek Joanna.
"Selamat datang, Nona Ksatria Istana," sapanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan duka.
"Saya Pauli... Tuan dari tempat yang tak lagi layak disebut rumah."
Alice membalas sapaan itu dengan anggukan hormat, lalu duduk di kursi di seberang pria tua itu.
Keduanya duduk dalam diam sejenak, diliputi keheningan yang lebih pekat daripada percakapan apa pun.
"Bisakah Anda menceritakan apa yang terjadi malam itu?"
Alice akhirnya bertanya, suaranya tenang.
Pauli menarik napas dalam-dalam.
"Maaf, Nona Knight...
Saya tidak ada di sini saat penghakiman berlangsung.
Saya sedang berada di luar kota.
Saya baru tiba kemarin setelah mendengar tentang... semua ini."
Dia mengusap wajahnya yang keriput, lalu melanjutkan,
"Saya harap Anda mengerti posisi saya."
Alice menatapnya dengan mata birunya, tidak menghakimi, hanya mempertimbangkan.
"Lalu... siapa yang bisa saya mintai informasi?"
Pauli terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada berat.
"Setelah malam itu, hanya dua orang yang tersisa di rumah besar ini...
menantu perempuan saya, Hellen, dan cucu perempuan saya, Joanna. Tapi..."
Suaranya melemah. "Hellen tidak berhenti menangis... dia mengunci diri di kamarnya.
Sedangkan Joanna... dia tidak berbicara sepatah kata pun sejak malam itu."
"Saya akan berhati-hati."
Alice berdiri.
"Tolong bawa aku kepada mereka. Aku akan berusaha menjaga perasaan mereka."
Pauli berdiri perlahan dan mengangguk.
"Dengan senang hati, Nona Knight.
Meskipun hatiku... masih belum siap menerima semua ini."
—
Bertemu Istri Gilles