Awalnya Rosalie kira perjalanan itu akan mudah, tetapi tepat di minggu keempat ia bertolak dari Rotterdam, badai datang menyerang. Kapal yang membawanya terombang-ambing dihantam ombak besar. Selama makan malam ia senantiasa mengeluh pada Dirk bagaimana keadaan perutnya yang bergejolak dan kepalanya yang nyeri bukan main. Seharusnya malam itu dia bisa berjalan-jalan di geladak untuk menghilangkan bosan. Dirk yang tahu kebisaan majikannya hanya tersenyum simpul sembari mengupas apel.
“Apa yang harus aku lakukan lagi setelah ini? Tidak ada, Dirk. Tidak ada!” Rosalie mendesah lantas menelungkup di atas meja.
“Jangan begini, Kaatje,” tegur Dirk. Ia menarik bahu Rosalie hingga gadis itu duduk tegap kembali. “Kalau kau bosan, kau bisa bermain kartu seperti biasa,” lanjut pemuda itu sembari menunjuk sekelompok orang kaya yang sibuk mempertaruhkan kekayaan dalam permainan kartu. Kepulan asap tebal dari cerutu yang mereka hisap tampak selayaknya sekat pemisah antara nikmat dunia dan realita. Denting gelas yang beradu pada meja berkali-kali terdengar bersamaan dengan umpatan dan tawa yang mereka lontarkan.
Rosalie bersedekap. “Bayangkan kau harus melihat permainan yang sama selama berhari-hari,” katanya seraya mengibaskan tangan. “Tidak. Terima kasih.”
“Atau kau bisa ikut bernyanyi dan berdansa bersama para prajurit,” ujar Dirk sambil menata potongan apel di atas piring lalu menyodorkannya pada gadis itu. “Makanlah.”
“Aku tidak mau makan lagi.” Rosalie menggeser piring itu ke tengah meja. “Kau tahu, seperti ada banjir bandang di perutku sekarang.”
Dirk tertawa. “Bukankah sudah kuperingatkan kalau berlayar itu tidak mudah? Apa kau mau menyerah? Sebentar lagi kita sampai di Tanjung Priok.” Ia lantas bangkit dari kursi. “Aku akan mengambilkan jenever untukmu. Tunggu sebentar.”
Rosalie mengangguk pelan. Segelas jenever yang dicampur beberapa tetes obat sakit perut adalah obat paling mujarab untuk mabuk laut. Ah, tapi dia lupa memesan pada Dirk untuk dibawakan juga biskuit manis, tapi biarlah. Karena rasa asam yang mengganggu indra pengecapnya, ia akhirnya memakan persik dan apel yang tadi telah dikupas Dirk meski enggan. Gadis itu mengunyah lambat sambil terpejam demi menikmati sari-sari buah di mulutnya sebelum menelan.
Bunyi derit kursi yang ditarik sedikit mengagetkan Rosalie. Ia mengira itu Dirk, tetapi rupanya bukan. Di hadapannya kini berdiri seorang laki-laki berkulit pucat dan bermata biru. Setelan abu-abu necis yang dikenakannya seakan-akan menyuarakan jika lelaki itu bukan orang biasa. Seratus persen seorang burjois.
Si lelaki kemudian melepas topi bowlernya, memperlihatkan rambutnya yang berwarna cokelat gelap lalu tersenyum ramah. “Boleh aku duduk di sini?”
Sebelah alis Rosalie terangkat. Dia menebak lelaki itu pasti orang Irlandia berdasarkan aksen bahasa Inggrisnya yang unik.
“Boleh aku duduk di sini?” Lelaki itu bertanya lagi sambil menunjuk kursi yang awalnya ditempati Dirk. Masih sambil tersenyum.
“Oh, maaf, tidak. Kursi itu sudah ditempati dan aku tidak ingin bicara dengan siapa pun,” jawab Rosalie acuh tak acuh.
Tetapi si lelaki sepertinya tuli karena tiba-tiba dia duduk tanpa memedulikan perkataan pedas Rosalie tadi.
“Ya, Tuhan. Cuacanya buruk sekali hari ini, bukan begitu, Nona?”
Dahi Rosalie mengerut. Sejujurnya dia tidak terlalu suka dengan orang-orang Irlandia dan obrolan ringannya, jadi yang dia lakukan adalah menganggap seolah-olah laki-laki itu adalah makhluk tak kasatmata.
“Apakah kau sendirian di perjalanan ini, Nona?”
Rosalie masih mengacuhkannya.