zaterdag 8.10.1904
Hari ini, sesuai jadwal, Dokter Bauer datang berkunjung.
Rosalie berhenti sejenak untuk memikirkan hal apa yang ingin ia tulis selanjutnya. Namun, tiba-tiba, bayangan tangisan bayi semalam terlintas di benaknya.
Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, tapi ia yakin sekali seharian ini ia melupakan kejadian kemarin malam. Ingatannya terasa kabur, layaknya terbungkus kabut tebal yang sukar diurai.
Cemas mulai merayap tatkala dirinya berusaha mengurut hal yang terjadi. Setelah menulis buku harian dan hendak menuju ranjang, tangisan bayi terdengar, kemudian di tengah ketakutan yang tak terkira ia minum obat yang baru diresepkan, lalu tertidur setelah rasa kantuk yang tertahan menyerang. Pagi harinya ia bangun dengan segar tanpa merasakan sakit atau tersiksa sama sekali, seolah-olah ingatan tentang tangisan itu seumpama uap panas pada kopi yang menghilang setelah dingin.
Apakah tangisan itu benar-benar nyata? Ataukah efek obat baru dari Dokter Bauer yang membuatnya lupa?
Ia mencoba menenangkan diri. Haruskan ia bersyukur atas hal itu atau membicarakan hal ini pada Zuster Van der Hofstadt?
“Mama.”
Perempuan itu terkesiap kala bisikan lembut menyapa telinganya.
“Mama ... Mama ...”
Bisikan itu kembali, kali ini lebih jelas dan lebih dekat, bersamaan dengan tawa riang bayi yang seolah-olah tengah mengajaknya bercanda. Mendengar tawa itu mengingatkannya pada kemeriahan Sinterklaas1 di kota kelahirannya. Ia ingat bagaimana harum rempah-rempah dari kue-kue dan manis dari permen-permen memenuhi udara, berpadu dengan bunyi lonceng serta kerlip lampu dan hiasan warna-warni yang menghiasi kota. Nyanyian ceria dan puisi jenaka terdengar dari tiap ruang keluarga.
Perasaan ingin melindungi tiba-tiba menyelusup dalam sanubari. Naluri keibuaan membangkitkan keinginan Rosalie untuk merengkuh bayi mungil itu dan memberinya kasih sayang yang tak terhingga.
Tanpa ragu Rosalie menjelajahi setiap jengkal yang belum pernah ia jamah kendatipun kamar itu tidak terlalu besar. Sayangnya, sekeras apapun ia mencari, bayi mungil itu tetap tak terlihat di mana-mana.
“Ada di mana kau, Nak?” Perempuan itu berbisik lirih. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan. Bayi itu terus memanggilnya, seolah-olah bersikeras meminta untuk ditemukan.
Di tengah kekalutan itu, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk bersamaan dengan suara suara kunci yang dibuka.
“Rosalie—astaga. Apa yang kau lakukan di sana?” seru Zuster Van der Hofstdat yang terkejut menemukannya menelungkup di lantai. Perawat itu segera membantunya duduk di atas ranjang. “Apa yang terjadi, Sayang?”
Perempuan itu menggeleng pelan dengan air mata yang mengalir membasahi pipi. “Aku tidak bisa menemukannya, Zuster.”
“Apa yang kau cari?” tanya perawat itu dengan penuh perhatian. Sesekali ia mengusap dan merapikan rambut Rosalie.
“Bayi itu,” bisiknya lirih.