Rosalie menarik kata-katanya kembali karena ia mengira ditipu oleh iming-iming pamannya yang mengatakan Batavia adalah Sang Ratu dari Timur. Dia bisa jadi orang yang sangat kikir dengan terus-menerus menghitung untung rugi dari sekian banyak uang yang telah ia keluarkan, mengingat perjalanan menuju Hindia Timur sangat mahal (bahkan sampai nyaris menghabiskan seperdelapan uang hasil penjualan warisan properti milik ibunya) ditambah birokrasi yang sangat menyusahkan. Dirinya sungguh beruntung terlahir sebagai warga Belanda, jika tidak, ia membutuhkan perizinan ini-itu hanya untuk sekadar pergi menuju Buitenzorg.
Namun, semua gerutuannya terbayar ketika dirinya menginjakan kaki di Weltevreden.
Weltevreden sangat menarik. Vila-vila besar bercat putih dengan pohon besar berjajar sepanjang jalan. Restoran, hotel-hotel mewah, pusat perbelanjaan, serta teater tersedia di daerah ini. Rasanya seperti melihat kota-kota metropolitan Belanda, yang membedakan hanya kondisi udara yang begitu panas dan terik matahari yang membuat kulitnya memerah. Bukankah hal yang sia-sia menjadikan tempat ini hanya sekadar lahan untuk memperkaya diri? Dia berharap di masa depan pemerintah Hindia Belanda bisa membuka sebuah jalur khusus untuk memudahkan para pelancong1.
“Oh, Rosalie, kau terlihat sangat cantik. Coba lihat gaunmu. Warna kuning itu sangat cocok dengan kulitmu yang putih.”
Rosalie tersenyum mendengar pujian bibinya. Selama beberapa hari belakangan, dia dan Dirk memang tinggal di rumah sang paman. Sayangnya, di rumah ini hanya ada bibinya, seorang mestiza2, bersama dua anak mereka yang masih sangat kecil, ditambah satu koki, dua babu untuk mengasuh anak-anak, serta dua jongos (menurut bibinya, semakin banyak pelayan di rumah, maka keluarga Eropa akan dipandang memiliki kedudukan tinggi, meskipun rumah yang mereka tempati tidak begitu besar), sementara pamannya sendiri baru akan pulang dari Rembangsche3 dua minggu sekali.
Kala Rosalie mengabarkan kunjungannya ke Batavia, bibinya senang bukan kepalang. Wanita Indo-Eropa itu menyiapkan segala sesuatunya dengan baik, mulai dari menata ulang kamar yang akan dipakainya sampai membeli seprai-seprai baru dan menanam pohon mawar berbagai warna.
“Terima kasih, Tante. Kau juga terlihat sangat cantik hari ini.” Senyum simpul Rosalie mendadak berubah menjadi senyum menggoda. “Ah, aku tahu kenapa kau bisa sangat cantik hari ini, apakah karena malam ini adalah hari kepulangan oom?”
“Apa yang kau bicarakan,” kilah bibinya yang tersipu malu. “Ayo, cepatlah bersiap. Dirk sudah menunggu di luar. Dia akan memarahimu karena terlalu lama menunggu.”
Rosalie terkekeh geli. “Dirk memang akan selalu marah-marah. Tante tenang saja.” Ia kembali menyibukkan diri dengan tatanan rambutnya. Ia agak kesulitan ketika mengepang rambut dan hampir kelepasan mengumpat lantaran tangannya tertusuk jepit rambut.
“Biarkan aku membantu.” Bibinya segera mengambil sisir yang ada di meja rias. Di Belanda, ada satu pelayan yang ditugaskan oleh ibu tirinya untuk mengurus semua keperluan pakaian dan bersolek, jadi ketika ia melakukannya sendiri, Rosalie sedikit canggung.
Dari pantulan cermin, Rosalie memerhatikan bibinya dengan khidmat. Yang ia tahu, wanita yang menikah dengan pamannya sepuluh tahun lalu ini adalah keturunan ayah Belanda totok dan ibu seorang yang berasal dari Manado, sebuah daerah di jauh seberang pulau. Wajah bibinya bulat dan tulang pipinya sama sekali tak menonjol sebagaimana orang Eropa kebanyakan. Bibirnya tebal. Rambutnya hitam lurus, berbeda dengan dirinya yang berambut pirang. Kulit bibinya meski terang, tak seputih miliknya. Perpaduan antara gen eropa yang tegas dengan gen Indies yang halus sangat unik di matanya.
Dulu sekali ia pernah mencuri dengar percakapan antara ayah dan pamannya bahwa di kalangan pria Belanda, menikahi wanita-wanita Indo-Eropa dari kalangan atas merupakan hal yang populer. Keluarga wanita-wanita itu biasanya memiliki koneksi penting yang bisa memuluskan peluang karir pria Belanda. Ah, dia jadi mengerti mengapa pamannya menikah wanita ini; bibinya sudah pasti berasal dari kalangan atas berdasarkan tata krama dan juga kekayaan yang ia miliki.
Ini adalah pertemuan pertamanya dengan sang bibi. Sejujurnya ia sempat terpengaruh oleh cerita-cerita yang mengatakan bahwa orang-orang, tak terkecuali campuran, adalah orang yang bodoh, liar, tak bermoral, dan gemar merajuk untuk kaum perempuannya. Namun, pada kenyataannya, kriminal tidak melihat ras. Selama dua puluh tahun ia hidup, ia sudah banyak melihat kejahatan yang dilakukan orang-orang Belanda, terutama setelah menjamurnya pabrik dan migrasi orang desa ke kota yang membuat persaingan hidup lebih ketat. Berkat pertemuan dengan bibinya sekarang, pemandangannya tentang bangsa Indies ini sedikit berubah.
“Nah, sudah selesai,” seru bibinya sembari memamerkan hasil jerih payahnya. Di saat yang sama, pintu kamarnya diketuk yang diikuti dengan panggilan Dirk.
“Nona Rosalie, apakah kau sudah selesai? Bergegaslah, kau tidak ingin terlambat bukan?”