“Selamat sore.” Rosalie akhirnya menyapa setelah Dirk menepuk pelan tangannya.
Lelaki itu tampak sedikit terkejut dan menoleh. “Selamat sore,” balasnya seraya berdiri. Rupanya ia sedikit lebih pendek daripada Dirk.
“Apakah benar, kau orang yang telah menemukan koperku?” tanya Rosalie memastikan.
Si lelaki dengan cepat mengangsurkan tangan, mengajaknya berjabatan. “Benar. Saya Pieter Adriaansz Vrolijk. Biar kutebak, kau adalah Nona Boelens.”
“Rosalie Catharina Boelens. Kau bisa memanggilku Rosalie.” Ada jeda panjang karena Rosalie sempat terpana dengan senyum ramah yang diberikan lelaki Indo-Belanda itu, tapi begitu pandangannya turun ke bawah, ia sedikit terkejut karena menangkap luka kecil dan darah kering yang berada di sisi-sisi kuku ibu jari Pieter. Beruntung, dia berhasil mengendalikan diri. “Dia … hmm … Dirk Bakker,” katanya sambil memperkenalkan Dirk. Diam-diam gadis itu menggigit bibir menahan malu karena, ya Tuhan, perkenalannya sangat canggung.
“Baiklah, Nona Rosalie.” Masih dengan senyum yang terpatri di wajah, Pieter menunggu Rosalie melepaskan tangannya sebelum beralih pada Dirk. “Senang berkenalan denganmu juga Tuan Bakker.”
“Cukup panggil aku Dirk, Tuan Vrolijk,” ucap Dirk sembari membalas jabatan tangan Pieter.
“Kalau begitu, kau bisa memanggilku Pieter.”
“Baiklah, baiklah, silakan duduk, Tuan Pieter.” Rosalie memberikan gestur pada Pieter untuk kembali menyamankan diri di atas kursi. Dirk yang sudah mengerti akan tugasnya segera menarik sebuah kursi untuk Rosalie, yang dibalas dengan ucapan terima kasih pelan. “Kau bisa memesan apapun yang kau inginkan sebagai bentuk terima kasihku karena kau telah menemukan koperku,” lanjutnya.
Acara makan malam itu berjalan dengan hangat dan menyenangkan. Rosalie pikir Pieter adalah pribadi setenang angin di musim gugur, tapi ia rupanya lebih bersinar dibanding matahari di musim panas. Lelaki itu pintar dan beretika, tetapi di balik itu dia memiliki selera humor yang sangat ia sukai, persis anjing kooiker yang dulu ia pelihara saat kecil. Lucu dan menyenangkan.
“Mereka menyebut gajah-gajah itu dengan panggilan anjing raksasa dengan hidung panjang. Bukankah itu bodoh?” seloroh Pieter kala menceritakan pengalamannya bertemu orang Belanda yang baru pertama kali melihat gajah.
Mendengar kelakar lelaki Indo-Belanda itu, Rosalie tertawa sembari menutupi mulut. Ia banyak bertanya padanya mengenai kehidupan Batavia dan lelaki itu mampu menjawabnya dengan lugas. Saat ia tak sengaja menoleh pada Dirk, pemuda itu menunjukkan raut mengejek. Ia segera memukul pahanya sebelum kembali menaruh atensinya pada Pieter.
Tiap cerita yang Pieter bagikan, Rosalie akan mendengarkannya dengan penuh perhatian sampai pada saat di mana dirinya mengutarakan satu hal yang mengganggunya semenjak datang ke Batavia.
“Pribumi selalu menyambut kami dengan keramahtamahan yang luar biasa. Bahkan para pribumi itu akan membungkuk dan menyapa penuh hormat. Padahal, kami sama sekali bukan bangsawan dan bukan orang yang berasal dari militer. Kami—aku lebih tepatnya, belum terbiasa dengan hal-hal itu.” Rosalie melatakkan pisau dan garpu yang ia gunakan, lalu menyeka mulut dengan serbet.
Pieter tersenyum. “Jika kau telah lama tinggal di sini, kau akan terbiasa, Nona Rosalie.”
Rosalie memandang Pieter di hadapannya dengan antusias. “Oh, aku juga tidak mengerti mengapa wanita-wanita Eropa—tanteku yang bercerita—lebih mengandalkan para babu dan koki untuk memasak makan malam ketimbang membuatnya dengan tangan sendiri, padahal rumah yang mereka tempati tak sebesar di Holland. Kau tahu, salah satu hal yang paling dituntut dari wanita adalah kemampuannya untuk mengurus rumah dan memasak. Ibu tiriku bahkan turun langsung mengawasi seluruh pekerjaan para pelayan dan dia selalu menuntut kesempurnaan,” lanjutnya menggebu-gebu, terselip sedikit nada jengkel ketika ia membahas ibu tirinya. Dirk yang mendengar itu mendengkus geli.
Suara denting kaca dan meja porselen terengar ketika Pieter meletakkan gelas. Ia memandang Rosalie lekat-lekat. “Udara panas di Hindia bisa membuatmu jadi pemalas. Percayalah.”
Gadis itu tergelak karena menganggap perkataan Pieter tadi adalah lelucon. “Baiklah, baiklah,” ucapnya seraya mengusap setitik air mata di ujung matanya lantaran terlalu banyak tertawa. “Mari kita serius sekarang. Apa pendapatmu dengan wanita-wanita Eropa yang perangainya berubah itu, Piet?”
“Kupikir, wanita bisa bebas melakukan apapun yang mereka inginkan, selagi mereka mampu bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya.”
Mendengar jawaban Pieter, perasaan asing tiba-tiba merayap di hati Rosalie. Ia sangat menyukai apa yang pemuda itu katakan. Bolehkah dirinya berharap jika setelah ini, ia bisa bertemu kembali dengan lelaki Indo-Belanda itu?