maandag 10.10.1904
Setelah berjemur dan mandi, Zuster mengajakku ke kandang sapi untuk melihat pasien-pasien Indies yang sibuk memerah sapi. Zuster berkata mungkin ini bisa menghiburku dari perasaan rindu rumah karena aku pernah berkata bahwa aku merindukan Groningen, padahal aku hanya ingin menghabiskan hari dengan memandangi kebun mawar kecilku.
Rosalie terkikik kecil mengingat ia pernah berseloroh kalau ia ingin memiliki sebuah peternakan di Hindia. Entahlah, ia juga tak mengerti mengapa ia bisa menceritakan hal yang sangat personal kepada Pieter, padahal kala itu baru genap dua bulan mereka mengenal satu sama lain dan masih belum terpikirkan soal pernikahan.
“Coba kau bayangkan, dikelilingi sapi-sapi perah yang menghasilkan susu segar tiap hari dan kambing-kambing gemuk yang berlarian di padang rumput,” katanya ketika itu. Tatapan matanya berbinar penuh semangat. “Apakah menurutmu itu cukup? Bagaimana menurutmu, Piet?”
“Apakah kau yakin?” Ini bukan perkataan Pieter, melainkan Dirk. Pemuda itu sampai mengangkat alis tinggi-tinggi karena heran.
“Apakah itu masalah?” Rosalie melipat dan mengembalikan serbet ke meja setelah menyeka mulut.
“Maafkan aku, Katje. Tapi, kurasa itu akan sangat bermasalah. Kau lupa, kita akan segera pulang.”
“Kau bisa pulang sendiri, Dirk.”
Dirk terlihat sangat tidak setuju. Namun, sebelum ia sempat melayangkan protes, Pieter sudah lebih dulu bicara, “Peternakan menurutku cukup bagus. Mungkin kau bisa menambahkan ternak ayam petelur. Telur adalah salah satu komoditas utama di negara tropis,” katanya sambil meletakkan serbet di sisi kiri piring yang belum habis sepenuhnya, hanya tersisa potongan-potongan kentang, sebagaimana makan malam sebelum-sebelumnya. Rosalie yang berada di hadapan lelaki itu melirik sekilas. Ia bisa menduga Pieter kurang menyukai masakan beberapa sayuran seperti kentang dan tomat.
“Kalau kau tidak keberatan, kau bisa memikirkan untuk membuka lahan tanaman ekspor, mungkin kopi dan tebu juga,” tambahnya laki-laki itu.
“Kau benar, Piet!” Rosalie tanpa sadar mencondongkan tubuh ke arahnya. “Apakah kau bisa memberitahuku tempat mana yang cocok?”
Pieter tersenyum. “Kupikir kau bisa membukanya di dataran tinggi seperti di Priangan. Lebih baik jika melakukannya di Jawa karena akan lebih mudah bagimu untuk mengawasi tanahmu. Atau, kau bisa memberikan modal pada penguasa Jawa di Vorstenlanden1 dan biarkan mereka yang mengolah tanahmu. Tidak seperti orang Eropa, orang-orang Jawa kurang terampil berbisnis, jadi kau bisa sedikit memanfaatkan mereka.”
“Ah!” Rosalie menjentikkan jarinya. “Aku pernah mendengar ini dari pamanku. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”
“Cukup mudah sebenarnya. Yang kau butuhkan adalah kemampuan melobi. Mereka akan percaya dan setuju begitu saja karena mereka sedang membutuhkan banyak uang untuk membayar hutang dan gaya hidup mereka yang penuh kemewahan.”
Decakkan kagum keluar dari mulut Rosalie. “Dari mana kau tahu semua itu, Piet?”
“Apakah kau lupa, Nona? Aku adalah petugas survey pengukur tanah. Selain mengkur topografi, aku juga pengumpul data registrasi tanah dan statistik kadastral.”
Rosalie meletakkan siku tangannya di meja lantas bertopang dagu. Gadis itu fokus mendengarkan seakan-akan Pieter tengah menceritakan kisah dongeng seru yang belum pernah didengarnya. “Apakah kau punya pengalaman ketika melakukan pengumpulan data? Itu berarti kau pernah berkeliling pulau Jawa, bukan? Katakan padaku, bagaimana bentuk candi itu, lalu, bagaimana pantai-pantai yang ada di sana? Apakah cantik sesuai dengan apa yang pamanku ceritakan?” Ia kemudian mengeluh. “Aku belum mendapatkan izin keluar dari Weltevreden ini.”
Pieter tertawa renyah. Ia dengan sabar ia menjawab satu persatu selayaknya guru yang tengah mengajar seorang anak membaca. Lelaki itu meminta maaf karena daerah yang pernah dikunjunginya hanya di area Kerasidenan Banten, Batavia dan Bogor. Daerah terjauh yang pernah ia datangi ialah Bandung. Ia juga mengakui hanya pernah sekali melihat reruntuhan candi di Krawang serta tak banyak pantai yang pernah ia lihat.