dinsdag 11.10.1904
Aku mulai menyukai tugas membuat renda yang diperintahkan perawat untukku. Ya, dibanding harus membatik, aku lebih menyukai ini.
Di Belanda, pekerjaan menjahit dan menyulam hanya dilakukan oleh wanita-wanita pekerja kasar, jadi Rosalie tidak terbiasa—bahkan boleh dibilang dia tidak pernah menyentuh benda-benda itu sama sekali. Namun, ia menyukai bagaimana mulanya sehelai benang lurus mampu terbentuk menjadi simpul-simpul pola yang rumit.
Simpul-simpul yang ia buat seakan-akan menggambarkan kehidupannya. Dulu ia begitu naif sehingga dengan mudahnya percaya bahwa kebahagiaan bisa ia dapatkan dengan mudah jika mengikuti kata hati. Tetapi pada kenyataannya, dia harus berjalan di antara duri-duri yang membuatnya terluka. Ia masih mengingat dengan jelas gurauan salah satu kerabat yang menghadiri pesta pernikahannya. Pria tua itu berkelakar jika rambut pirang tak cocok dengan Hindia Timur. Setelah bertahun-tahun warnanya pasti akan pudar.
Rosalie memandangi lampu porselen di meja. Api dalam lampu itu menari-nari konyol seakan-akan tengah mengolok-ngoloknya. Perempuan itu tertawa geli. Apakah dia menyesal pergi dari Belanda? Tidak sama sekali.
Semasa lajang dulu, ia sebenarnya tak pernah membayangkan sama sekali akan menjadi istri. Dia adalah perempuan bebas yang menyukai petualangan. Berpergian ke tempat-tempat baru merupakan impiannya. Banyak yang menentang pemikirannya ini, terutama ibunya tirinya. Ibu tirinya menganggap bahwa wanita yang tidak bersuami adalah bentuk dari kegagalan seorang perempuan. Namun, setelah bertemu Pieter, pikiran itu berubah. Ia cukup menikmati perannya sebagai istri yang merawat rumah atau melayani suami dari pagi hingga malam hari.
Di sebelah lampu porselen terpajang vas bunga yang diisi dengan setangkai mawar merah muda. Tangannya terjulur untuk mengelus kelopaknya. Ah, ia jadi merindukan Pieter. Bagaimana keadaan suaminya di rumah?
woensdag 12.10.1904
Kebun rumah sakit sedang panen. Aku jadi teringat dengan masa panen di Groningen. Saat panen musim gugur tiba, semua orang akan pergi ke kapel untuk merayakan masa panen dengan memakai pakaian terbaik. Kue-kue, buah, dan makanan melimpah ruah. Rumah-rumah juga lumbung dihias berbagai boneka jagung beserta pita-pita cantik berbagai warna.
Rosalie memandang sedih piring berisi potongan mangga yang diberikan Van der Hofstdat bersama obat-obat yang harus diminumnya. Selain kebun yang dipenuhi sayur-mayur dan kentang, hari ini kebun mangga yang dirawat oleh pasien-pasien Indies dan Tionghoa juga sedang panen, jadi seluruh penghuni rumah sakit mendapatkan jatah mangga yang cukup banyak. Ia sudah menghabiskan lebih dari dua piring daging legit mangga berwarna oranye itu tadi siang dan berakhir tidak ingin makan lagi sekarang lantaran perutnya penuh.
Biarlah. Dia akan menyimpan sisa mangga ini untuk besok pagi.
Pena diletakkan. Punggung disandarkan. Tiba-tiba ia teringat pada menu makan malam. Karena hujan deras turun dari pagi dan udara jadi lebih dingin, pihak rumah sakit menyediakan sup tomat hangat bersama bakso daging dan kentang tumbuk. Rasa asam-manis yang masih tersa di lidah membuatnya terkenang dengan salah satu kejadian yang membuatnya sekali lagi jatuh cinta pada suaminya.
Selama dua tahun menikah dengan Pieter, perempuan Jawa tua yang bekerja sebagai koki di rumah lebih sering menyediakan rijsttafel; berisi hidangan nasi beserta lauk-pauk yang kebanyakan baru ia temui. Pieter sudah mengenal koki itu sejak lama dan darinya Rosalie tahu suaminya jarang sekali menyantap hidangan Eropa, kecuali jika ada perayaan atau kedatangan kolega. Dia tak pernah bertanya pada suaminya karena ia pikir hal itu hanyalah hal remeh. Ia berasumsi mungkin berkat dirinya yang lahir dan tumbuh di Indies membuat Pieter kurang terbiasa dengan makanan Eropa. Menurutnya tak masalah.
Di sisi lain, Rosalie sendiri pada mulanya kesulitan menyesuaikan masakan yang dibuat koki dengan seleranya. Tak jarang perutnya menolak. Akan tetapi, ia sangat beruntung Pieter membantunya dengan sabar, hingga sedikit demi sedikit ia bisa menerimanya. Sekarang bahkan ia amat menyukai kudapan-kudapan manis seperti gethuk.
Waktu itu hujan juga turun dari pagi. Dua tahun tinggal jauh dari Belanda ditambah obrolannya saat minum teh sore bersama Nyonya Donnet, wanita kreol1 Prancis yang fasih berbahasa Belanda penghuni rumah sebelah, menyulut kerinduan pada negara kelahirannya itu. Oh, dia tidak merindukan rumahnya. Ia hanya merindukan suasana dan masakan-masakannya saja. Rosalie memerintahkan kepada koki untuk memasak sup tomat dengan daging asap, kroket dan kentang tumbuk untuk makan malam. Tidak lupa ia meminta adanya puding beserta sirup buah. Selagi menunggu kepulangan Pieter, waktu yang tersisa ia gunakan untuk merajut di kebun belakang sambil bersenandung di bawah sejuknya udara senja. Sejak kehamilan pertamanya ini, ia tidak memiliki waktu untuk keluar rumah karena kondisi kesehatannya yang mudah menurun. Memang sedikit menyebalkan, tapi tidak apa-apa. Semua ini demi keselamatannya serta bayi yang dikandungnya.
“Bukankah di sini dingin, Roos? Kau bahkan tak mengenakan baju hangat.”
Rosalie terperanjat saat menemukan suaminya telah berdiri di hadapannya. “Aku tidak mendengar kepulanganmu. Sejak kapan kau berdiri di situ, Sayang?”