Rosalie hampir mati melihat suaminya tergeletak tak berdaya. Ia menjerit-jerit histeris memanggil siapapun di rumah itu. Pian datang kemudian. Pemuda itu terperanjat lalu berinisiatif membawa tubuh lemas Pieter ke kamar. Nyonya Donnet dan Jum berturut-turut masuk ke ruang makan. Wanita Prancis itu, dibantu Jum, lantas memapahnya ke salah satu kursi.
“Bisakah kalian mengantarku ke kamar?” pinta Rosalie yang langsung disanggupi oleh Jum.
“Aku akan memanggil dokter untukmu. Kau tunggulah di sini.”
Perkataan Nyonya Donnet bagaikan angin lalu. Rosalie merebahkan diri di samping Pieter sambil memegang erat tangannya yang berkeringat. Ia terlonjak sewaktu suaminya merintih dan meracau.
“Aku di sini, Sayang. Aku di sini,” ucap Rosalie sembari mengusap titik-titik keringat di pelipis Pieter. Ia sungguh tak tahu apa yang terjadi, tapi ia yakin ada sesuatu masalah yang besar yang Pieter coba sembunyikan darinya.
Dokter yang dipanggil dari klinik militer datang lima belas menit kemudian. Rosalie yang awalnya mondar-mandir dengan gelisah, kembali duduk di pinggir ranjang dan menunggu dengan cemas tatkala dokter itu memeriksa keadaan Pieter.
“Apa yang terjadi pada suamiku, Dokter?”
“Tidak ada masalah dengannya. Tidak ada demam dan tanda penyakit lain,” jawab si dokter sembari membereskan tas.
Rosalie meradang. “Apakah kau yakin? Tak bisakah kau memeriksanya lagi? Suamiku tidak sadarkan diri, bagaimana bisa kau bilang itu tidak masalah?” tanyanya dengan nada suara yang sedikit meninggi. Nyonya Donnet menyentuh pundaknya untuk menenangkan.
“Roos?” Suara dari Pieter yang baru tersadar mengagetkan semua orang yang ada di ruangan itu.
“Apa yang kau rasakan, Sayang?” Rosalie lekas menghambur ke arah Pieter. “Adakah yang sakit? Biarkan dokter kembali memeriksamu,” tanyanya sambil suaminya duduk setelah lelaki itu meminta.
Pieter menatap istrinya sejenak, lantas menggeleng. “Aku baik-baik saja.”
“Tidak!” Rosalie menjerit. “Kau sedang tidak baik-baik saja. Berhenti berkata kau sedang baik-baik saja. Aku ini siapamu? Bisakah kau mengatakan yang sejujurnya kepadaku?”
Pieter segera merengkuh tubuh sang istri ke dalam pelukan. Tubuh tegang Rosalie pelan-pelan mengendur. “Aku benar-benar baik, Roos. Sebelumnya, bisakah kita bicara berdua saja?” bisiknya tepat di samping telinga Rosalie dengan suara bergetar.
Rosalie mengigit bibir dan melemparkan pandangan sangsi pada suaminya, tapi kemudian ia menurut juga setelah Pieter mengafirmasi kalau ia tak membutuhkan bantuan dokter atau yang lain. Ia pun bergegas turun dari ranjang dan mengantar Nyonya Donnet beserta sang dokter keluar.
Tepat di depan pintu utama, Nyonya Donnet berhenti. Ia berbalik lalu mengambil kedua tangan Rosalie. “Jika sesuatu kembali terjadi pada Pieter, jangan segan untuk memanggilku, ya.”
Rosalie memandangi kedua tangannya yang berada dalam genggaman Nyonya Donnet dengan mata basah. Meskipun umur mereka hanya terpaut enam tahun, tapi kehadiran wanita Prancis itu seolah-olah mengisi kekosongan hatinya atas sosok ibu. Banyak cerita dan keluh-kesah yang ia bagi pada wanita itu. Tak jarang ia juga mendapat berbagai petuah dan kata-kata menenangkan darinya. Rosalie benar-benar berhutang banyak padanya.
“Terima kasih, Nyonya Donnet. Aku tidak tahu bagaimana jadinya aku tanpamu.”
Nyonya Donnet tersenyum. Lesung di pipi kirinya membuatnya tambah manis. “Aku pulang dulu. Kau bisa langsung beristirahat setelah ini.”
Rosalie mengangguk. Selepas sosok Nyonya Donnet menghilang di balik pagar, ia kembali ke kamar dan menemukan suaminya tengah duduk bersandar dengan tumpukan beberapa bantal di balik punggung.
“Ada yang kau butuhkan, Sayang? Aku bisa meminta Jum mengambilkannya untukmu.”
“Kemarilah.” Pieter membuka kedua tangannya dan tak butuh waktu lama bagi Rosalie untuk menyandarkan punggung di dada lelaki itu.
Selama beberapa saat, tak ada percakapan yang keluar dari mulut keduanya. Yang ada hanyalah suara embusan napas masing-masing yang menyatu padu. Sebelah tangan Pieter mengelus kepala Rosalie dan sesekali ia menciumnya. Di lain sisi, Rosalie yang mulai terlena pun menoleh. Kecupan-kecupan manis kemudian ia terima seiring dengan tangan Pieter yang terus membelai di sepanjang leher, pundak, dada, hingga perutnya. Ia melenguh ketika suaminya melepas pagutan.
“Ada yang ingin kubicarakan padamu.”
Rosalie menatap mata Pieter dalam-dalam. “Aku ada di sini. Aku akan selalu mendengarkanmu,” katanya. Tangannya mengusap lembut pipi Pieter, yang disambut dengan kecupan sehalus bulu angsa.
Lelaki itu kemudian terkekeh kecil setelah wajah mereka terpisah. “Aku jadi teringat pada seseorang yang pernah mengucapkan hal yang sama padaku.”
Dahi Rosalie mengertu. “Siapa itu?”
Pieter terdiam. Telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan punggung tangan sang istri. “Bisakah kita melewati pembahasan itu? Aku sedang tidak ingin membicarakannya.”