Mawar Derana, Arum Lara

Anisha Dayu
Chapter #11

Layaknya mengeluarkan kuda tua dari kandang

donderdag 13.10.1904

Hari ini tubuhku agak tidak bertenaga. Apa karena aku menangis semalaman? Tapi aku tidak menyadarinya. Zuster bilang, ketika membangunkanku, ia menyaksikanku menangis dalam tidur. Aku memang sangat merindukan Pieter. Aku ingin berjumpa dengan suamiku dan Arne.

Rosalie melirik ke arah jendela. Angin yang menyibak gorden membawa aroma mawar dari kebun. Ia bersyukur, di balik harinya yang kurang menyenangkan ini, ia masih bisa merasakan sedikit gembira karena Zuster Van der Hofstadt telah menyerahkan kewajiban sepenuhnya untuk merawat kebun mawar di depan kamar kepadanya.

Ia pun melanjutkan tulisannya.

Kebun mawar di depan kamar adalah tanggung jawabku sekarang. Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana caranya merawat kebun bunga karena dulu Dirk yang mengerjakan itu bersama para tukang kebun. Biasanya aku hanya akan merecokinya saja. Aku akan giat belajar dari tukang kebun di rumah sakit ini. Aku pastikan mawar-mawarku itu tumbuh dengan baik.

Gerakan tangan Rosalie mendadak terhenti. Ia sepenuhnya sadar dan ingat ada kebun mawar lain yang menjadi favoritnya beberapa tahun ke belakang. Kebun itu tak luas, hanya beberapa langkah dari teras belakang ke tembok pembatas pagar belakang. Di sudut kebun, ada sebuah kursi jati tua dengan sandaran yang sedikit retak. Di sebelah kursi itu berdiri gagah pohon-pohon palem yang tinggi menjulang.

Rosalie sering kali menghabiskan berjam-jam di kebun mawar itu dengan membawa serta buku-buku kesukaannya atau rajutan yang tak kunjung selesai, baik kala pagi setelah ia mengantar kepergian suaminya ke kantor, pun ketika sore setelah tidur siang. Pieter yang baru pulang bekerja terkadang akan diam-diam mengejutkannya. Jika hal itu terjadi, dia biasanya akan merajuk sampai suaminya meminta maaf dan memberikannya kecupan serta pelukan hangat yang diselingi puji dan kekehan geli.

Usai menyelesaikan tulisannya, Rosalie naik ke peraduan. Selimut dinaikkan. Kelambu diturunkan. Selagi menunggu obat bekerja, dia termenung sembari menatap langit-langit ranjang.

“Sayang, aku merindukanmu,” bisiknya lirih.

Perempuan itu merasakan air mata mengalir membasahi pipi. Ia membayangkan wajah suaminya, senyumnya yang hangat, dan pelukannya yang erat. Dirinya ingin sekali merasakan semua itu lagi, merasakan kehangatan serta kasih sayang yang hilang darinya.

Saat di altar Pieter pernah berjanji untuk selalu menemani, untuk selalu menjadi bahunya untuk bersandar, untuk selalu menjadi kekuatannya. Tetapi, di mana suaminya sekarang? Mengapa dia tak pernah datang berkunjung di sini? Apakah Pieter telah melupakannya?

Hatinya hancur berkeping-keping. Ingin sekali ia berteriak dan meminta tolong, tapi suaranya tak kunjung keluar. Ingin sekali ia memeluk seseorang dan menangis sepuasnya, tapi tak ada siapapun di sini. Dia sendirian dan ditinggalkan.

Rosalie menangis pilu.

“Mama!”

Seketika dirinya tersentak. Suara itu tawa lagi. Ia mengusap air mata di pipi lantas beranjak. Ia memindai kamarnya dengan risau. Jantungnya berdebar kencang seakan dia sedang dikejar sesuatu. Sebagaimana sebelumnya, ia mencari ke setiap sudut dan memastikan tidak ada sejengkal pun yang terlewat. Sayangnya, mau sekeras apapun ia mencari, ia tetap tak mampu menemukan keberadaan sumber suara itu.

Karena lelah, ia duduk di ranjang dengan terengah-engah. Perlahan, suara tawa itu terdengar jauh dan semakin jauh sampai akhirnya menghilang. Rosalie memeluk lutut. Ia sama sekali tidak berani untuk berbaring, apalagi untuk terlelap.

Dalam keheningan, yang ia lakukan hanya memandangi gerak api pada lampu minyak yang berbayang di dinding. Api itu bergoyang-goyang cepat, menari-nari, meliuk-liuk seolah-olah mengetes kesabarannya.

Rosalie mendesah pelan. Kepalanya mulai terasa berat dan akhirnya ia memilih untuk berbaring untuk menghilangkan pusing yang menyerang. Dalam posisi itu, ia masih memandangi bayangan nyala api lilin di dinding. Semakin lama, pandangannya terdistorsi, ia tidak tahu bayangan yang mulanya kecil, mengapa tiba-tiba bisa membesar. Mulanya ia tak memedulikan ini dan hanya menganggap itu hanyalah imajinasinya saja. Namun, sewaktu bayangan itu telah sebesar lemari ia terperanjat.

Ujung bayangan api kemudia memanjang membentuk garis tipis hingga menyentuh langit-langit. Satu garis itu lalu terbelah berkali-kali membentuk pola acak bagai cabang-cabang tanaman. Muncul duri-duri di sepanjang sisi bertepatan dengan ujung-ujungnya yang membulat. Bulatan itu makin besar dan besar, sampai akhirnya pecah membentuk kuntum-kuntum mawar yang mekar.

Rosalie sempat terpana menyaksikan pemandangan ajaib di hadapannya. Akan tetapi hal itu tak berlangsung lama karena...

“Mama, aku di sini!”

Dirinya tercekat. Suara itu datang lagi, tapi tak seperti sebelumnya, sekarang ia tahu dari mana suara itu berasal. Entah keberanian dari mana, ia beranjak dari tempat tidur lalu berjalan menuju jendela. Selama beberapa saat, perempuan itu terdiam. Dengan ragu-ragu ia membuka tirai sekaligus daun jendela. Dari tempatnya berdiri, ia tak bisa menangkap apapun karena begitu gelap ditambah teralis besi tebal yang menghalangi. Ia pun mengambil lampu minyak dari meja untuk membantunya memeriksa.

Lihat selengkapnya