Mawar Derana, Arum Lara

Anisha Dayu
Chapter #12

Mulailah sesuatu dengan lembaran yang bersih

Hujan turun lagi, kali ini lebih lebat dan disertai angin kencang. Rosalie baru menyadarinya ketika dingin yang menusuk tulang merayap di permukaan kulit. Jarum dan benang rajut pun ia tinggalkan karena kini fokusnya berpindah ke jendela yang enggan ia tutup. Di luar sana, bunga-bunga mawar tercintanya tampak tengah berjuang melawan badai. Ia jadi berpikir, apatah mawar-mawar itu akan bertahan esok hari? Atau malah akan patah, berantakan, dan mati?

Dia lantas melirik jam yang tertempel di dinding. Pukul tujuh. Seharusnya Pieter pulang dari tiga jam lalu. Pandangannya kemudian turun ke arah cermin besar berbingkai tembaga yang terpajang di bawah jam dinding. Ia sama sekali tak mengenali siapa yang ada dalam cermin itu. Wanita yang tengah menatapnya terlihat sangat kurus dan pucat dengan mata sembap. Di sekelilingnya terserak peralatan serta gulungan benang berwarna kuning muda. Dia … dia tampak sangat menyedihkan.

Bunyi kunci pintu yang dibuka mengempaskan Rosalie pada kenyataan. Pintu kamar kemudian terbuka dan Pieter masuk dengan rambut basah. Sambil menggerutu lelaki itu meletakkan tasnya di bufet dan melepas mantel kedap air yang dikenakannya lalu menggantungnya di balik pintu.

Begitu berbalik, Pieter tersentak karena menemukan istrinya duduk di depan jendela yang terbuka lebar. Dia itu pun lekas berlari untuk menutup jendela. “Roos, apakah kau tidak kedinginan? Di luar sedang hujan lebat,” katanya sembari berlutut. Kursi goyang yang diduduki Rosalie pun berhenti bergerak lantaran tertahan oleh tangannya.

“Aku baru saja ingin menutup jendela, tapi ternyata kau sudah lebih dulu melakukannya,” ucap Rosalie dengan senyum yang ia usahakan dengan susah payah. Jawaban itu adalah sebuah kebohongan yang konyol, tapi wanita itu tak peduli. Mau bagaimanapun, ia tak akan berkata jujur pada suaminya.

Helaan napas panjang meluncur dari mulut Pieter sebelum meletakkan kepala di pangkuan istrinya. “Apa yang kau lakukan hari ini, hm?”

Rosalie memandangi wajah Pieter. Sesekali jari nakalnya memainkan ujung-ujung rambut basah sang suami. “Aku tidak melakukan apapun.”

“Benarkah?” Lelaki itu bangun dari pangkuan sang istri. “Tapi ada peralatan rajut masih berserakan di bawah kakimu. Apakah kau yakin tidak melakukan apapun? Jika kau berbohong, hidungmu akan menjadi panjang. Percayalah,” selorohnya.

Rosalie menggeleng geli, lantas tersenyum kecil. “Aku pernah berjanji pada Hessel untuk membuatkannya sepatu rajut. Tapi sampai sekarang aku tak mampu menyelesaikannya karena bingung memilih warna. Menurutmu, Hessel suka warna kuning atau hijau? Kupikir kuning karena aku yakin, Hessel akan sangat lucu memakai sepatu rajut kuning. Kau setuju, kan?” jelasnya dengan mata berbinar-binar.

Wajah Pieter menegang. Senyumnya mendadak hilang. Ia berdiri menjulang di hadapan Rosalie dengan rahang mengeras. “Roos, apa kau sadar dengan apa yang kau katakan tadi?”

“Ada apa dengan ekspresimu itu, Sayang?” Rosalie memandang bingung. “Aku hanya menanyakan pendapatmu soal warna sepatu Hessel. Ah, atau kubuatkan saja warna merah?” ucapnya seraya terkikik kecil. Memikirkan Hessel membuat suasana hatinya seketika membaik. “Kau tahu, Hari Santo Nikolas akan segera datang.”

Pieter tiba-tiba menyentak, “Roos!” Suaranya menggelegar bagai guntur yang menyambar.

Rosalie terenyak. Tubuhnya tegang. Ia tak pernah merasa setakut ini. “Ada apa?” tanyanya dengan suara mencicit. Ini pertama kali buatnya melihat kemarahan yang meledak dari suaminya.

“Ada apa?!” Pieter mengulang pertanyaannya. “Kau masih bertanya ada apa?”

“Kenapa kau membentakku begitu?” Rosalie tak mampu membendung air mata. Dia sangat tidak suka dengan cara Pieter berkata kasar padanya. Rasa sakitnya bak dipukul rotan.

“Apa kau mulai kehilangan kewarasanmu? Hessel telah pergi meninggalkan kita setengah tahun yang lalu!”

Bak tenggelam di danau es, Rosalie membeku. Perkataan Pieter tadi membuat dunianya runtuh. Ia mendadak menangis histeris saat bayangan Hessel yang tak bernyawa dibawa pergi oleh perawat menghantamnya.

Pieter memunggungi Rosalie dan mendongak. Ia membiarkan sang istri menangis pilu beberapa saat hingga tangisnya berubah menjadi isakan kecil. Melalui cermin, ia memerhatikan kondisi Rosalie. Setelah yakin istrinya sudah bisa diajak bicara, lelaki itu berbalik. Ia mendekat dengan ragu-ragu. “Roos, dengarkan aku,” ujarnya lembut. “Aku tahu ini sangat berat.”

“Kau sama sekali tak merasakannya!” Rosalie mendorong tangan sang suami yang hendak memeluknya. “Pergi! Aku tidak mau melihatmu.”

Pieter tak mengindahkan segala umpatan Rosalie. Ia tetap bersikeras untuk mendekap wanita itu walaupun berkali-kali ia menerima penolakan dan pukulan. “Dengarkan aku untuk sekali ini saja, Sayang.” Ia memohon dengan putus asa, walaupun sang istri masih tetap meronta-ronta.

Sesungguhnya Rosalie tahu. Sangat amat tahu. Hessel tidak akan mungkin hidup lagi. Selama ini dia hanya menyugesti diri bahwa Hessel hanya pergi sebentar dan akan kembali jika ia merindukannya. Namun, selama berbulan-bulan ia menunggu, Hessel tetap tak kunjung pulang. Tubuh kecil bayinya telah menyatu dengan tanah. Nisan salib di makamnya adalah tanda bahwa ia tak mungkin bisa memeluk bayinya.

Apakah dia salah berlaku semacam itu? Apakah dia sudah kelewatan?

Karena lelah, Rosalie akhirnya menyerah. Ia bergeming pasrah kala Pieter membelai pelan kepalanya.

“Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Aku tak seharusnya berkata seperti itu.”

“Tapi kau tak mengerti apa yang kurasakan,” kilah Rosalie. Ia membuang wajah ke arah lain, tapi Pieter tak ingin kontak mata mereka terputus begitu saja.

Pieter menjilat bibirnya sebelum bicara, “Apakah kau menganggap aku tidak bersedih atas kehilangan bayi kita?”

Rosalie mendongak dan terkejut lantaran mendapati bulu mata Pieter telah basah. Dari mata lelaki itu, ia tak bisa menemukan cahaya. Kerutan halus tercipta di ujung-ujungnya. Ia seperti pernah melihat ekspresi ini; ekspresi yang sama yang Pieter tunjukkan ketika pemakaman Hessel. Dia adalah orang yang percaya bahwa sorot mata seseorang adalah jendela jiwa. Melihat mata Pieter yang seolah-olah redup membuatnya sadar, apakah ia telah bersikap egois dengan meragukannya? Apakah dia telah melukai lelaki itu? Apakah dia telah melanggar sumpahnya?

“Aku hanya berusaha kuat untuk kita berdua,” lanjut Pieter. “Aku tidak ingin melihatmu semakin terpuruk jika aku menunjukkan kesedihanku.”

Lihat selengkapnya