Beberapa tahun lalu jika dirinya ditanya mengenai pernikahan, Rosalie pasti akan menjawab dengan raut bingung. Kenapa harus ditanyakan? Semua sudah diatur keluarga, dia hanya perlu berada di sana untuk menerima pertunangan dari keluarga berderajat sama, berdiri di altar dengan gaun putih berenda dan buket bunga bersama pria pilihan ayahnya, menjalani malam pertama yang manis, mengandung serta melahirkan. Sudah begitu saja. Selanjutnya dia akan menjalani hari-hari sebagai nyonya besar dalam rumah. Semua pekerjaan akan diambil alih para pelayan. Akan ada pengasuh yang menjalankan kesibukan mengurus bayi dan anak-anaknya. Yang ia lakukan hanya memerintah dan mengomentari pekerjaan pelayan di rumah dan menghadiri undangan-undangan pesta, dan persis seperti yang dilakukan ibu tirinya (dan mungkin ibunya dulu beserta istri-istri tuan tanah lain, mungkin.). Namun, memilih siapa yang hendak ia jadikan suaminya tidak terlalu buruk. Ia merasa ia bisa menerima dan memercayai diri sendiri. Dulu ia tak pernah berpikir untuk ikut mengelola peternakan, tetapi berkat menikahi Pieter, ia mampu melakukan itu, walaupun tak lama. Begitu pun dengan memiliki anak.
Anak lelaki adalah kebanggaan. Dulu ia sering cemburu dengan perlakukan ayahnya terhadap saudara-saudara tirinya. Jika anak lelaki bisa melakukan apapun, berbeda dengan anak perempuan. Anak perempuan hanya serupa perhiasan, barang pecah-belah yang mudah rusak sehingga selalu ada penjagaan ketat di sekelilingnya. Aksi nekatnya yang memutuskan untuk pergi ke Hindia bukanlah kesalahan. Ia bisa melakukan hal-hal menegangkan seperti yang dulu pernah ia impikan. Bukankah itu menyenangkan? Ia pernah menceritakan kegundahannya ini pada Pieter dan ia sangat suka dengan jawaban lelaki itu.
Pieter berkata: “Anak lelaki dan anak perempuan tak ada beda. Semuanya memiliki hak yang sama.”
Ketika berita kehamilannya yang pertama sampai di telinga Pieter, bukan sebuah pengharapan adanya anak lelaki yang ia dengar dari mulut lelaki itu. Pieter malah berdoa apapun jenis kelamin anak mereka nanti, yang terpenting dirinya dan sang bayi akan diberikan keselamatan saat persalinan. Jujur, Rosalie tak pernah menyangka akan menerima reaksi itu dari suaminya. Karena penasaran ia pun bertanya apa alasannya. Pieter menjawab ini karena ia pernah melihat sekali proses bersalin seorang nyai. Perempuan itu harus meregang nyawa bersama bayinya yang bahkan belum semenit lahir ke dunia.
Mendengar itu, sejujurnya ia tak tahu bagaimana ia harus menanggapi. Jadi dia hanya tersenyum dan berujar, “Kau tenang saja. Persalinanku akan dipegang oleh perawat dari Belanda dan dia sangat berpengalaman. Nyonya Donnet yang merekomendasikannya padaku. Kau tahu, aku lebih percaya metode modern kedokteran Eropa dibanding takhayul-takhayul orang pribumi.”
Akan tetapi, terkadang segala sesuatu tak berjalan dengan yang diharapkan. Bayinya tak bisa diselamatkan. Semenjak itu Rosalie sangat merasa bersalah pada Pieter lantaran ia tak bisa menjaga keselamatan buah hatinya, juga pada Hessel yang gagal ia berikan kesempatan untuk menikmati dunia lebih lama.
Di kehamilan kedua ini, seharusnya dia bahagia karena Tuhan telah memberikannya kesempatan untuk menebus kesalahannya, bukan? Masalahnya menerima kenyataan bahwa ia kembali mengandung membuatnya dirundung ketakutan yang tak terkira. Bagaimana jika bayinya ini tak bisa hidup sebagaimana Hessel? Bagaimana jika Pieter kecewa karena lagi-lagi ia gagal membawa buah hatinya ke dunia? Di hari yang seharusnya menjadi perayaan menyambut kebahagiaan lain di rumah mereka, Rosalie malah meratapi ketidakberdayaannya.
Ada waktu di mana dirinya akan menangis tersedu-sedu kala malam datang. Ia sungguh beruntung Pieter tetap setia menemani; memberikannya kata-kata penenang; memeluknya dengan hangat, dan menciumnya penuh cinta. Butuh empat bulan sampai akhirnya ia menerima kehamilan itu.
Empat bulan yang penuh penderitaan dilalui dengan jatuh bangun. Rosalie mulai menyayangi bayi yang ada di kandungannya layaknya harta berharga. Untuk merayakan kemajuan ini, tak jarang Pieter mengajaknya ke kelab Harmonie, sebuah kelab paling bergengsi dan susah dimasuki di Batavia, untuk makan malam atau sekadar menikmati pertunjukan musik dan berdansa.
Saat mereka pertama kali menginjakkan kaki di kelab itu, Pieter bergurau jika bukan karena seorang gadis Belanda kaya, mustahil buatnya mendapatkan kesempatan menjadi anggota kelab. Sungguh, kelab Harmonie hanya berisi orang-orang Eropa berada. Siapapun yang datang diharuskan mendaftar dan menunggu persetujuan Dewan Asosiasi. Mereka akan ditinjau sampai ke akar; siapa mereka, berapa umurnya, apa pekerjaannya, dan di mana tempat tinggalnya, semua akan diperiksa dengan teliti apakah calon tersebut layak menjadi anggota atau tidak. Rosalie menanggapi guaruan itu dengan tawa karena ia tahu pasti gadis Belanda yang dimaksud adalah dirinya.
Menginjak bulan kelima, Rosalie ia mulai merasakan keanehan pada tubuhnya. Ia mulai sering merasa lapar, sering buang air kecil, dan penambahan berat badan yang dialaminya cukup siginifkan. Yang paling parah adalah di mana dia merasakan sesak dan tak bisa tidur dengan tenang kala malam. Ia tak ingin mengganggu Pieter jadi ia menahan semuanya sendirian, terlebih dokter yang memeriksanya mengatakan jika janin yang di kandungannya kemungkinan cukup besar dan ini berarti anaknya tumbuh sehat di dalam sana. Oh, siapa yang tidak bahagia? Mengetahui hal itu ia berjanji akan menjalani semua kesulitan yang ada dengan penuh syukur sampai hari persalinan tiba.
Namun, kejamnya kenyataan menghancurkan harapan. Rosalie dengan berat hati harus menarik kata-katanya tatkala ia merasakan sakitnya persalinan yang ia alami beribu-ribu kali lipat dibanding proses kelahiran Hessel dulu.
“Aku tidak bisa … Aku tidak bisa,” adunya seraya meremas tangan Pieter dengan kuat. Wajahnya memerah dan keringat dingin yang membasahi dahi. Napasnya memburu. Keberanian yang ia pupuk selama sembilan bulan memudar, tergantikan dengan bayang-bayang kematian.
Pieter mencium kening Rosalie lembut. “Ya, Sayang. Aku tahu. Tapi kau harus kuat demi aku, demi anak kita. Kau kuat, aku tahu itu,” katanya di sela-sela tangis.
Rosalie menarik napas panjang, berusaha mengikuti intruksi Pieter dan dua perawat yang bergantian memeriksa jalan lahirnya. Namun, rasa sakitnya begitu tak tertahankan. Seluruh organ dalamnya seolah-olah diremas-remas. “Aku tidak kuat lagi,” bisiknya kepayahan. Suaranya nyaris tak terdengar.
Secara tiba-tiba kontraksi kuat menghantam, tetapi perawat yang mengawasi belum juga memerintahkannya untuk mengejan. Rosalie ingin menjerit kencang-kencang sampai pita suaranya putus. “Aku tidak mau ini lagi,” katanya sambil terisak-isak. “Aku tidak mau merasakan sakit ini lagi.”
Pieter menggeleng. Lelaki itu sama tersiksanya. Dengan tangan sedingin es dan gemetar, ia mengusap air mata Rosalie. “Kau sudah melewati banyak hal. Kau pasti bisa melewati ini juga.”
Rosalie tersedak. Ia pun muntah untuk yang kesekian kalinya. Nyonya Donnet dan Jum yang membantu proses persalinan dengan sigap mengganti baju Rosalie beserta seprei dan selimutnya.
Tepat pukul tiga sore ketubannya pecah dan akhirnya perawat mengizinkan Rosalie untuk mengejan. Prosesnya begitu lama dan menyakitkan sampai ia berpikir setengah nyawanya telah hilang.
Karena sampai dua jam berlalu bayinya tak kunjung terlihat, dokter memerintahkan Rosalie untuk mengubah posisi. Perawat dan Jum membantunya untuk duduk bersandar pada dada Pieter. Saat itu, ia sudah tak bisa merasakan apapun. Tubuhnya sungguh sangat lemas dan ia pun kesulitan bernapas. Rasanya ia ingin mati saat itu juga.
“Dengarkan aku, Roos. Fokus pada bayi kita. Bayangkan senyumannya, tangisannya, sentuhannya. Dia membutuhkanmu. Aku membutuhkanmu, Sayang.”
Ucapan Pieter sayup-sayup terdengar oleh Rosalie. Ia tersenyum tipis di balik napasnya yang tersendat-sendat. Bayangan wajah mungil bayi yang akan ia timang-timang mendadak memenuhi kepala. Ia pun memejamkan mata.
Kontraksinya kemudian datang lagi. Kali ini lebih lama dan lebih dashyat. Rosalie berteriak kesakitan dan mendorong sekuat tenaga. Ia ingin semua kesakitan ini segera usai. Setelah beberapa jam yang terasa ibarat berabad-abad, tangis bayinya yang nyaring terdengar ke seluruh penjuru rumah.
Rosalie tergugu-gugu haru. Bulir-bulir air mata menganak sungai di wajahnya. Kebahagiaan membuncah kala menyaksikan anaknya diangkat perawat untuk dibersihkan. Tubuh mungil itu bergerak-gerak gelisah. Tangan dengan jemari yang mungil menggeliat-geliat. Kakinya menendang-nendang di udara. Tangisnya terdengar sangat kencang. Dia hidup.