Mawar Derana, Arum Lara

Anisha Dayu
Chapter #14

Seekor monyet yang keluar dari lengan baju

Rosalie bangun dengan perasaan hampa. Ia sebenarnya tidak ingin melakukan apa-apa, tapi Zuster Van der Hofstadt tetap melakukan pekerjaanya seperti biasa, membangunkannya, mengajaknya untuk sarapan dan berjemur, lalu mandi. Ia baru menyadari dirinya bagaikan seorang tahanan. Semua yang dilakukannya hanyalah pengulangan. Hidupnya hanya berputar-putar di satu tempat dan ia tak tahu kapan perjalanannya ini berakhir.

Usai makan malam, seperti biasa ia akan duduk di meja kerjanya untuk menulis buku harian. Namun, walau sekian menit telah berlalu dari pukul delapan, belum ada satu kata pun yang tertuang di atas kertas. Kepalanya seolah-olah kosong. Energinya seakan-akan terkuras meski ia tak melakukan apapun.

Helaan napas panjang meluncur dari mulutnya. Ia segera menegakkan tubuh, mengambil pena, dan mulai menulis.

Aku ingin pulang.

Tidak.

Rosalie tiba-tiba berhenti menulis. Ia segera menyobek lembaran kertas yang barusan ditulisnya, lalu mengulang dari awal.

Pintu kamarnya diketuk dari luar yang diikuti suara Zuster Van der Hofstadt, “Apa aku boleh masuk?”

Ia pun lekas bangkit dari kursi dan membuka pintu.

“Apa aku mengganggumu?” tanya Zuster Van der Hofstadt.

Rosalie bisa melihat perawat itu menyembunyikan sesuatu di belakang tubuhnya. Ia pun menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan tadi.

Perawat itu tersenyum. “Sepertinya kau sedang sibuk,” katanya sambil melongok ke dalam kamar sebentar.

“Ya, begitulah,” sahut Rosalie seadanya. “Ada yang kau perlukan dariku, Zuster?”

“Ah, hampir saja aku lupa. Tujuanku kemari adalah memberikanmu ini,” ucap perawat itu sambil menyerahkan dua buku bersampul keras. “Di rumah sakit ini belum menyediakan perpustakaan bagi pasien untuk membaca, jadi aku mendapatkan buku-buku ini dari kenalan para dokter. Kau pernah bilang ingin membaca buku demi mengusir bosan, kan?”

Wajah Rosalie yang awalnya muram perlahan berseri-seri. Buku yang diterimanya dari perawat itu adalah sebuah novel romansa berbahasa Belanda dan buku kumpulan dongeng klasik. “Terima kasih.”

“Baiklah. Karena pesanananmu telah datang. Aku akan undur diri. Jangan sampai lupa dengan buku harianmu dan kau harus lekas tidur setelah menulis.”

Rosalie mengangguk sopan. Setelah Zuster Van der Hofstadt dan mengunci pintu, ia segera duduk bersandar di ranjang. Buku hariannya tak tersentuh karena ia berpikir bisa menulisnya esok pagi. Biarlah. Lagi pula tidak ada yang tahu jika ia berlaku curang, bukan?

Senyumnya yang merekah belum luntur juga, apalagi setelah dia mengambil buku dongeng klasik pemberian Zuster Van der Hofstadt tadi. Ia jadi merasa kembali ke dirinya yang lama. Sepulang sekolah, dia sering kali bermain-main, mengabaikan perintah dari ibu Dirk untuk tidur siang. Kalau sudah begini, Dirk akan masuk ke kamarnya untuk menemaninya membaca atau sekadar membicarakan hal apapun sampai sore tiba.

Ah, andai saja Dirk ada di sini. Dia akan menceritakan semuanya.

Menit demi menit berlalu, Rosalie mulai tenggelam dalam dunia dongeng klasik yang dibacanya. Halaman demi halaman ia jelajahi, membiarkan imajinasinya terbang bebas. Ketika dirinya sampai pada bab dongeng favoritnya, Jorinde dan Joringel, ia berhenti lalu memeluk buku itu di dada.

Sungguh beruntung Jorinda memiliki tunangan selayaknya Joringel. Joringel adalah lelaki baik yang akan melakukan apapun demi membebaskan Jorinda, tunangannya, dari penyihir jahat. Meski nyawa jadi taruhan, tak sekali pun lelaki itu gentar. Ibarat Joringel, Pieter juga pernah menyelamatkannya dari perjodohan yang sama sekali tak ia kehendaki.

Joringel; Nama itu pernah berkali-kali ia sematkan pada diri Pieter, Terlebih ketika Pieter pernah menyelamatkannya dari perjodohan yang sama sekali ia kehendaki, sama seperti ketika Joringel menyelamatkan Jorinda, tunangannya, dari cengkeraman penyihir jahat.

*

Walaupun Zuster Van der Hofstad berkata dua buku ia dapatkan dari teman sejawat, yang sesungguhnya terjadi ialah buku itu pemberian Pieter. Rosalie pernah sekali mengatakan ia ingin membaca buku untuk mengusir bosan dalam menghabiskan hari. Terkadang, karena jadwal tidur malamnya yang terlalu cepat karena pengaruh obat, pasiennya itu akan sedikit kesulitan untuk tidur siang. Dirinya pun berinisiatif memberitahukan hal ini kepada Dokter Bauer dan meminta dokter berkebangsaan Jerman itu untuk menyampaikan hal ini kepada Pieter. Beruntung lelaki itu adalah lelaki bertanggung jawab yang akan melakukan apapun untuk kebahagiaan istrinya, jadi dia akan mengabulkan permintaan Rosalie tanpa berpikir dua kali. Yang jadi masalah adalah Dokter Bauer memerintahkannya untuk menyembunyikan kebenaran ini. Dokter itu beralasan mengingat kondisi kejiwaan Rosalie tak memungkinkan untuknya menerima informasi tersebut.

Di depan ruangan Dokter Bauer perawat wanita paruh baya itu mengembuskan napas, mengetuk, dan masuk setelah mendapat sahutan dari dalam. “Selamat malam,” sapanya kepada Dokter Bauer yang terlihat sibuk membaca di meja kerja.

Dokter Bauer menandai halaman buku yang baru dibacanya dengan pembatas buku dan mendongak. “Duduklah.”

Si perawat mengangguk dan menepatkan diri di sofa yang terletak di tengah ruangan.

“Apa kau sudah menyerahkan buku pemberian Tuan Vrolijk? Bagaimana menurutmu kondisi Nyonya Vrolijk?”

Zuster Van der Hofstad menatap Dokter di hadapannya serius. “Sebagaimana yang kita tahu, histerianya memburuk belakangan ini, tapi dia sudah bisa diajak bicara. Tidak seperti pertama kali ia datang kemari.”

Dokter Bauer mengangguk sambil menyadarkan punggung. “Terima kasih atas pendapatmu, Zuster.” Ia kemudian meletakkan sepucuk surat yang sudah tersobek amplopnya ke atas meja. Zuster Van der Hofstadt yang duduk di hadapannya menatap tak mengerti.

“Tuan Vrolijk mengabarkan kepadaku dia akan datang dua hari lagi ke sini untuk melihat kondisi istrinya. Kau bisa menemaninya nanti/”

“Apakah kau akan mengizinkan mereka bertemu?”

Ada jeda panjang sebelum Dokter Bauer menjawab pertanyaan itu. “Kondisi Nyonya Vrolijk belum memungkinkan untuk bertemu dengannya. Kita tunggu sampai keadaannya benar-benar stabil.”

Kedengarannya memang tidak adil. Tetapi terkadang bertemunya pasien dengan sumber penyakitnya bisa membangkitkan trauma bak angin puting beliung yang melenyapkan sebuah desa. Zuster Van der Hofstadt tinggal sebentar di ruangan itu untuk membahas dan melaporkan masalah beberapa pasien lain sebelum pamit undur diri. Tugasnya hari ini telah selesai dan ia berencana untuk segera beristirahat. Namun, baru saja ia hendak menyentuh kenop pintu, panggilan Dokter Bauer membatalkan niatnya.

“Zuster.”

Perawat tua itu berbalik. “Ya, ada apa, Dokter?”

Lihat selengkapnya