Kesan pertama yang ia dapat ketika melihat Tuan Vrolijk adalah lelaki itu layaknya danau tenang di musim panas. Kaki-kaki yang ramping melangkah tanpa suara di sepanjang koridor. Ia tak menujukkan banyak ekspresi terlebih ketika ia keluar dari kereta ambulans yang membawa Rosalie dari rumah sakit awal yang merawatnya.
“Selamat siang Tuan Vrolijk.” Zuster Van der Hofstadt mengangsurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Selamat siang juga, Zuster.” Pieter tersenyum sopan.
“Mari, kau kuantar ke ruangan Dokter Bauer.”
“Terima kasih.”
Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang kerja Dokter Bauer yang berada di sayap kanan gedung rumah sakit. Perawat tua itu kemudian menyilakan Pieter untuk masuk terlebih dulu, sementara dirinya keluar sebentar dan tak lama kembali bersama babu yang membawa kudapan dan teko yang terisi penuh dengan kopi.
Zuster Van der Hofstadt kembali dua menit kemudian. Di sofa tamu ruang Dokter Bauer, Pieter yang duduk nyaman dengan bersilang kaki. Kedua tangan lelaki itu tersembunyi di atas pangkuan. Sesekali matanya berkeliling menatap lukisan-lukisan alam Hindia yang terpajang, atau sekadar menatap segan potret besar Ratu Wilhelmina dalam jubah penobatan yang tergantung angkuh di sisi yang paling tinggi dari semua hiasan dinding.
“Dokter Bauer sedang memiliki jadwal periksa pasien. Ia memerintahkanku untuk menemanimu di sini,” ungkap Zuster Van der Hofstadt seraya menuangkan kopi panas pada cangkir Pieter. “Bagaimana kabarmu, Tuan Vrolijk.”
Pieter mengangguk sopan sebagai ucapan terima kasih. “Kabarku baik.” Ia lalu mengambil cangkir berisi kopi yang dihidangkan untuknya.
Zuster Van der Hofstadt memilih duduk di hadapan lelaki itu sebelum bertanya lagi. “Sepertinya kau sangat sibuk, sehingga kau baru bisa berkunjung menjenguk Nyonya Vrolijk sekarang.”
Wajah Pieter berubah sendu. Denting cangkir keramik yang beradu pada meja marmer terdengar ketika dirinya meletakkan cangkir itu. “Maafkan aku soal itu, Zuster. Pekerjaanku sebagai pengurus administrasi di Dinas Topografi sedang gawat-gawatnya, terlebih ketika banyak orang-orang Eropa yang datang kemari untuk membuka lahan.”
Si perawat tua tersenyum sebagai tanggapan. “Aku mengerti.”
Bersamaan dengan itu pintu ruangan terbuka.
“Selamat siang. Maaf menunggu.” Dokter Bauer masuk dengan tergesa-gesa. Ia mengajak Pieter berjabat tangan, lantas menyilakannya duduk kembali. Dirinya lantas beralih menuju meja kerja di ujung ruangan untuk melepas sneli dan mengambil berkas dari lemari besi di belakangnya. “Bagaimana kabarmu, Tuan Vrolijk?” tanyanya tanpa berbalik.
Pieter membalas pertanyaannya anggukan hormat. “Aku baik." Lelaki itu menjilat bibirnya sebelum melanjutkan, "Aku ingin langsung kepadamu, Dokter. Bagaimana keadaan istriku sekarang?”
Dokter Bauer sejenak memusatkan atensinya pada Pieter, lalu menghampirinya. Berkas yang diambilnya tadi ia letakkan di meja. “Seperti yang sudah kuberitakan melalui surat, aku senang memberitahumu bahwa kondisi Nyonya Vrolijk mulai membaik. Terapi-terapi yang kami berikan memberikan hasil, meskipun beliau sempat mengalami histeria beberapa kali, tapi proses penyembuhannya berjalan sesuai rencana. Namun, ada satu hal yang harus kuberi tahu padamu," terangnya. Dokter itu kemudian beralih pada Zuster Van der Hofstadt. “Boleh kau berikan buku harian Nyonya Vrolijk padaku, Zuster?”
Yang diperintah segera beranjak menuju bufet tepat di bwah potret Ratu Wilhemina, mengambil buku bersampul cokelat yang dimaksud, dan meletakannya di meja.
“Itu adalah buku harian milik Nyonya Vrolijk yang ia tulis selama dirawat di rumah sakit ini,” terang Dokter Bauer pada Pieter. “Bacalah.”
Untuk sesaat, Pieter terlihat ragu. “Apakah aku harus membacanya?”
“Menulis buku harian adalah salah satu metode terapi di rumah sakit ini, Tuan Vrolijk. Dengan ini kita bisa mengetahui suasana hati Nyonya dan aku ingin kau membaca agar kau juga mengetahuinya.”
Akhirnya Pieter memberanikan diri untuk membuka buku itu dan membacanya dengan penuh perhatian. Bahunya merosot lunglai. Punggung ia sandarkan. Ia tak sanggup meneruskan lebih jauh. Baru halaman pertama, ia sudah menutup buku itu. Ujung matanya telah basah dengan air mata. Napasnya memburu resah. “Apakah aku bisa bertemu dengan istriku sekarang?”