Mawar Derana, Arum Lara

Anisha Dayu
Chapter #15

Bak anjing yang menyalak di ekor gajah

Petir menggelegar, kaca bergetar, dan tangisan Arne makin menjadi-jadi. Arum yang sudah kelelahan menggendong dan menidurkan bayi mungil itu pun kehilangan kesabaran. Ia meletakkan bayi itu ke boks bayinya, lalu melangkah keluar kamar menuju ruang makan, mengambil segelas air dan meneguk isinya cepat-cepat hingga tandas.

Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh. Jum tidak terlihat di mana pun dan ia menduga wanita Jawa itu telah tidur. Ia mulai naik pitam. Dengan berang ia pergi ke kamar Jum yang terpisah dari bangunan utama dan menendang pintu kamar Jum dengan keras. “Kau pikir, kau bisa tidur seenaknya? Tuan Pieter akan segera pulang. Cepat, panaskan makanan sebelum aku memukulmu!”

Jum beringsut bangun sambil bersungut-sungut. Arum mendelik menatap Jum yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia tahu di belakangnya Jum akan mencaci-maki tapi ia tak peduli. Dirinya bisa melakukan apapun terhadap pelayan-pelayan di rumah ini selama sang nyonya rumah tak ada.

Yakin Jum melakukan semua yang diperintahkannya tanpa kesalahan sedikit pun, Arum kembali ke dalam rumah untuk berganti pakaian. Ia tidak ingin Pieter yang kelelahan sehabis perjalanan panjang menemukannya lusuh dan jelek. Dengan cermat ia memilih gaun dari lemari Rosalie. Kebisaan ini telah ia lakukan selama berbulan-bulan. Semua berawal ketika ia mencoba gaun Rosalie dan mengenakannya dalam rumah. Ia pikir dari sekian tumpuk gaun yang berada dalam lemari, tidak mungkin ada yang menyadarinya. Pieter yang melihatnya tak berkomentar apa-apa dan ia berspekulasi jika majikannya itu telah jatuh dalam pesonanya sehingga lelaki campuran itu memberikannya hak istimewa.

Arum terpukau menatap bayangannya di cermin. Gaun yang dipilihnya jatuh kepada gaun merah muda dengan potongan kerah sangat rendah sehingga mampu menampilkan belahan dadanya yang cantik. Gaun itu terasa amat halus dan menerawang sehingga mampu menonjolkan lekuk tubuh dan payudara sekal yang terbungkus kutang. Renda-renda yang berada di sepanjang tepi membentuk bunga-bunga cantik. Oh, sungguh beruntung Rosalie yang bisa mengenakan pakaian secantik ini. Dia iri, tentu saja.

Selain pakaian, hal lain yang membuat Arum menjadi tinggi hati adalah ia bisa menggunakan kosmetik Rosalie sesuka hati. Ia telah mencoba seluruh kosmetik yang berada di meja rias wanita totok itu dan kecintaannya jatuh pada bedak tabur yang membuat pipinya harum. Sambil bersenandung ia mengusap kapas dengan taburan bedak ke pipinya, kemudian mengulas lipstik yang membuat bibirnya merah merona. Sanggulnya ia angkat ke atas hingga lehernya yang jenjang nampak jelas.

Sekali lagi Arum mematut di depan cermin. Ia begitu memuja wajahnya yang kecil serta kulitnya yang terang dibanding pribumi lain senantiasa membuatnya mendapatkan perlakuan spesial walaupun ia tak memiliki darah Eropa. Oh, ia harus berterima kasih pada ibunya yang telah mati lantaran dia lahir dari hasil persetubuhan haram dengan mandor Tionghoa di Deli. Ia kemudian tertawa. Sialan.

Arum lantas menunggu Pieter di ruang tamu yang terang-benderang. Tak lama berselang, derik roda delman dan ringkik kuda terdengar. Ia bergegas menuju pintu untuk menyambut sang majikan. Pian yang tadi bertugas memayungi Pieter dari turun delman sampai ke depan pintu pun pamit menuju belakang untuk kembali berjaga.

“Tuan Pieter, kau sudah pulang?” sapanya dengan suara mendayu-dayu.

Pieter meliriknya sekilas dan berlalu usai ia memberikan tas beserta mantel kedap airnya kepada Arum.

Perempuan itu berang, tapi ia tak akan memperlihatkan itu pada Pieter. Jadi, ia tetap tersenyum dan mengikuti majikannya itu.

“Siapkan aku air panas,” perintah Pieter tanpa memerhatikan perempuan itu.

“Baik, Tuan. Aku akan memerintahkan Jum untuk menyiapkan air panas.”

Tatkala air telah siap. Arum menawarkan diri membantu Pieter mandi. Kelakuan ini bukan satu dua kali ia lakukan, ia sudah mencoba berkali-kali beberapa waktu ke belakang, tapi Pieter selalu menolak. Sayang, Arum tak mengenal kata menyerah. Ia akan tetap berusaha sampai apa ia inginkan berada dalam genggaman.

Pieter tak menunjukkan reaksi berarti ketika Arum ikut masuk ke dalam kamar mandi.

Pintu kemudian ditutup.

“Tuan Pieter, apakah kau ingin aku membantumu membasuh punggung?” Diam-diam Arum memerhatikan majikannya itu dari ujung kepala hingga kaki. Punggung yang lebar. Otot dada dan perut yang tergambar jelas. Paha yang kuat. Semuanya tampak menggairahkan.

Karena tak adanya penolakan, ia makin berani. Di Pieter yang telanjang, tanpa tahu malu, ia menyentuh punggung lelaki itu.

“Arum,” panggil Pieter saat Arum mengguyur punggungnya yang penuh busa. “Kau bisa tidur denganku malam ini.”

Gerakan tangan Arum terhenti. Ia menelan ludah gugup.

Pieter tertawa mencemooh dan menoleh. “Bukankah itu yang selalu kau inginkan? Ini hadiah dariku karena kau bekerja dengan sangat baik mengaja Arne selama beberapa bulan ini.”

*

Malam panas yang dilewatinya dengan Pieter tak terlukiskan kata-kata. Semua kelembuta ketika tangan kekar itu merayap di payudaranya membuatnya terbang. Ia sangat menyukai bagaimana Pieter mendesah dan menggeram tepat di samping telinganya. Rasanya sangat menakjubkan kala lelaki itu memperlakukannya bagai boneka yang dipindahkan ke sana-kemari sekehendak hati. Kendatipun mereka melakukannya di kamarnya yang hanya beralaskan tikar, itu tidak mengapa. Semuanya terbayar dengan kasih sayang meluap-luap yang Pieter curahkan kepadanya.

“Tuan Pieter, apakah kau telah memaafkanku?” tanya Arum sesaat seusai sesi persenggamaan mereka berakhir.

Pieter tak menjawab, membuat Arum berasumsi persetubuhan hebat mereka malam ini mampu menghapus dosanya pada lelaki itu. Dengan berani ia mengecup bibir bengkak Pieter dan menjadikan dadanya sebagai bantal.

Lihat selengkapnya