Mawar Derana, Arum Lara

Anisha Dayu
Chapter #16

Nasi telah menjadi bubur

Dari pertemuan-pertemuan dan obrolan mereka yang terjadi, Arum mengetahui jika Pieter pun bernasib sama sepertinya. Terasing dan terbuang tanpa memiliki keluarga yang bisa melindungi. Ia juga jadi mengerti bagaimana perasaan seorang Kleine-Indo yang hidup terpinggirkan. Orang-orang semacam Pieter ditolak kaum Eropa akibat dari prasangka yang menyebut mereka adalah orang-orang tak bermoral yang gemar melakukan tindak kriminal. Penduduk Eropa juga sering merasa tersaingi di bidang pekerjaan dan selalu berusaha menyingkirkan mereka. Sementara para pribumi iri dan membenci hanya karena secara teknis pemerintah menggolongkan mereka sebagai warga Eropa yang memiliki hak istimewa tak terhingga di Hindia walaupun hanya setengah berdarah Eropa.

“Kalau begitu, apa Tuan membenci orang Eropa dan pribumi?”

Pieter tergelak mendengar pertanyaan Arum yang naif. Tetapi sedetik kemudian wajah jenakanya menggelap. “Benar, aku membenci mereka. Sama sepertimu yang membenci semua orang,” jawabnya tanpa berpikir dua kali.

Suatu ketika di pertemuan mereka yang ketujuh (Ya, Arum memang menghitungnya dengan dalih semua itu adalah hal-hal yang tidak boleh dilupakan), Pieter bertanya padanya. “Aku penasaran, bagaimana ibumu bisa sampai ke Deli? Dari Jawa ke Sumatera itu jauh sekali.”

“Bibiku bercerita—sambil memakiku tentunya—ibu sebelumnya diimingi oleh biro yang mencari gadis-gadis muda dan cantik di desa untuk dipekerjakan sebagai kuli perkebunan. Ibu kemudian terpilih menjadi salah satu dari empat puluh gadis yang berangkat. Sebelum pergi, ibu menumpang di rumah bibi selama pergi.”

“Apa kau memiliki hubungan darah dengan bibimu yang jahat itu?”

Arum menuang teh ke dalam gelas kosong milik Pieter. “Tentu saja. Bibiku adalah sepupu jauh ibu. Di masa mudanya ia kabur dari desa untuk menjadi gundik seorang petugas administrasi di Weltevreden. Ia lalu dibuang dan menikah lagi dengan jongos orang Eropa. Sekarang dia hanyal seorang babu cuci setelah beberpa waktu bergelimang harta.”

Pieter menenggak gelasnya hingga tandas, lantas bertanya kembali, “Aku penasaran dengan makna di balik namamu itu. Arum. Kedengarannya indah.”

Arum menggit bibirnya yang bergetar. Air matanya telah mengumpul di pelupuk mata. “Aku tak memiliki ingatan yang banyak tentang ibuku. Tapi yang kutahu, bibi pernah bercerita kenapa ibuku memberikanku nama itu. Setiap malam setelah melayani mandor si mandor Tionghoa, ibuku selalu memandangi bunga sedap malam yang mekar dan berbau harum yang menjadi hiasan si mandor. Karena itulah ibuku menamakanku Arum dari nama bunga sedap malam, arumdalu. Ia juga berkata semoga kelak aku juga akan mekar dan berbau harum laksana sedap malam.” Ada jeda untuknya mendesah. “Sayang, harapan ibuku tak akan terwujud karena aku hanya berakhir berkumpul bersama semua orang yang mirip sepertiku.”

“Tapi kau masih sangat muda. Jalanmu masih panjang. Kau masih bisa menikah dengan pria baik-baik dan memiliki banyak anak.”

Arum mengangkat bahu acuh. “Sincia1 tahun depan aku sudah berumur tujuh belas sui dan itu artinya menikah dan memiliki anak adalah hal yang sia-sia karena sebentar lagi aku akan secara sah menjadi wanita publik di sini.”

“Bagaimana jika ada laki laki baik baik yang mengajakmu menikah?”

Tawa Arum mengalun. “Itu tidak mungkin, Tuan.” Diam-diam dirinya mengantisipasi balasan apa yang akan dilontarkan pemuda di hadapannya ini.

Pieter mengangguk. Kini ia mengambil alih tugas Arum untuk menuang teh. “Kalau itu aku, apakah mungkin? Kita punya banyak kesamaan. Sama-sama terasing dan terbuang.”

Semburat merah jambu mulai menyebar di pipi Arum sampai ke telinganya. Tangannya bergetar menahan luapan bahagia. Apakah ... apakah cintanya berbalas? Apakah Pieter juga menginginkannya? Ia pun menunduk malu. “Aku ... aku tidak ingin mendengar itu,” katanya mencicit.

“Benarkah?” Pieter menyandarkan punggung. Ia menatap Arum lekat-lekat dengan senyum kecil tersungging di bibir. “Kuharap ini bukan penolakan.”

“Kenapa?” Arum berkata lirih. Suaranya pelan sekali dan nyaris teredam oleh bising di ruangan tapi Pieter tetap bisa menangkapnya.

“Karena aku telah menyukaimu dari pertama kita berbincang-bincang. Kau pintar dan aku sangat menyukai matamu yang berapi-api,” jawab si pemuda Indo-Belanda.

Arum tidak bisa memastikan apakah perkataan Pieter sungguhan atau malah sebaliknya. Ia bingung menentukan tindakan apa yang akan ia ambil. Di satu sisi, ia ingin memastikan langsung, tapi di sisi lain ia takut jika harapannya jadi kenyataan maka ia akan menikah dengan pemuda itu dan meninggalkan Rumah Anggrek. Tidak mungkin. Ia tidak ingin dicap sebagai orang tidak tahu terima kasih karena mencampakkan tempat yang sudah mau menerimanya. Ia juga tidak ingin menceritakan ini pada Nyonya A Lan karena ia sudah menduga apa yang akan wanita baik hati itu katakan.

Sikap Pieter padanya pun berubah. Jika semula hanya sebagai seorang pelanggan, tapi kini pemuda itu memperlakukannya seolah-olah dia adalah seorang gadis dari keluarga baik-baik. Sesekali si Pemuda Indo-Belanda membawakannya makanan atau hadiah kecil seperti tusuk rambut atau bros dan peniti rantai. Ia tahu pemberian yang Pieter memang tak seberapa. Namun, selama ia hidup belum ada seorang pemuda pun yang memberikannya sesuatu, kecuali bingkisan cuma-cuma yang diberikan oleh satu pengunjung setia Rumah Anggrek sebagai kenang-kenangan karena dia mampu memuaskan pria hidung belang itu saat melayani mereka di meja tamu.

Kian lama rasa cintanya pada Pieter kian bergelora dan Arum sudah tak tahan lagi. Setelah menghabiskan sekian waktu untuk merenung dan bertanya pada diri sendiri akhirnya ia memilih untuk mengutarakan isi hatinya. Biarlah urusan apa yang akan ia lakukan ke depannya ia pikirkan nanti.

Sekarang di sini lah dirinya. Duduk di meja barisan paling depan dekat panggung. Meja ini adalah meja favorit mereka berdua menikmati musik gambang kromong dan teh hangat sepanjang malam. Arum memandang para penari cokek yang menari luwes dengan gelisah. Salah seorang penari memberi isyarat mata padanya dan ia segera tahu apa artinya itu. Pieter telah datang. Di depan pintu, pemuda itu berdiri bersama dua tentara. Salah satu tentara meninju bahu pemuda Indo-Beland aitu sambil mengucapkan suatu kalimat yang sulit didengar sebelum dua wanita Belanda yang juga menjadi penghibur di Rumah Anggrek ikut bergabung bersama mereka. Tak lama, dua tentara itu naik ke lantai dua ditemani wanita publik tadi.

Jantung Arum berdebar kencang seirama dengan ketukan langkah kaki Pieter yang berjalan menghampirinya.

“Kau tampak cantik hari ini. Apalagi rambutmu terhias tusuk rambut yang kuhadiahi,” puji Pieter dan Arum lekas tersipu malu. Gadis itu tanpa sadar menyentuh gelungan rambutnya yang diikat dengan tusuk konde berbahan kuningan berukir bunga.

Pandangan pemuda Indo-Belanda itu lantas turun ke bawah. Ia tersenyum lebar ketika menemukan bros dan peniti perak yang ia hadiahkan tersemat di dada Arum. “Aku bersyukur kau menyukai pemberian dariku,” katanya lagi.

Arum yang tak tahan menerima pujian Pieter yang datang bertubi-tubi pun berdiri, bermaksud untuk melayani si pemuda dengan menarik kursi untuknya, tapi Pieter melarangnya dan berkata ia bisa melakukannya sendiri.

“Oh, lihatlah kau telah menyiapkan teh, arak, dan berbagai kudapan. Apakah ada hal serius yang ingin kau katakan padaku?” tanya Pieter dengan nada menggoda.

Gadis itu tercekat dan mengangguk kaku. Todongan tepat yang dilontarkan Pieter barusan membuatnya malu.

Pieter seketika tergelak, lalu mencondongkan tubuh, “Apa yang ingin kau katakan padaku? Katakanlah.”

Lihat selengkapnya