Arum kemudian dibawa menuju kawasan Djellakeng1; Tempat yang sama seperti Gang Mangga yang tersohor sebagai sarang raja singa. Yang membedakannya hanyalah kasta para pengunjungnya. Djellangkeng sangat diminati oleh para pria Tionghoa kaya raya dan Eropa, sementara di Gang Mangga hanya lelaki pribumi miskin yang sanggup membayar ongkos hiburan yang tersedia.
Di kawasan Djellakeng, berjajar dua puluh enam soehian2 bertingkat dua dengan atap pelana kuda. Lantai bawah digunakan sebagai tempat berjudi atau mabuk-mabukan, sedangkan di lantai dua ada banyak kamar yang bisa digunakan oleh para lelaki hidung belang untuk bercinta. Di bangunan keempat, yang diberi nama Rumah Anggrek, Arum dipekerjakan sebagai petugas kebersihan di pagi hari merangkap pelayan kala malam.
Arum dalam hati tertawa mengejek dirinya sendiri. Memang terkadang nasib orang tua akan menurun ke anak-anaknya. Memiliki ibu yang menjadi wanita publik, dirinya pun harus berakhir di rumah bordil. Tetapi menurutnya tidak apa-apa. Di sini ia bisa bebas menjadi diri sendiri. Semua orang menerimanya. Ada banyak perempuan-perempuan muda (Tionghoa totok, kreol, kiau seng, dan anak-anak para nyai miskin) yang mau menjadi temannya. Mereka mengajarinya berbagai hal seperti bernyanyi, menari, bersolek, berbicara dan membaca dalam Bahasa Mandarin dan Belanda beserta bagaimana trik mengobrol dan menyenangkan pria.
Hari demi hari berganti, Arum tak menyadari jika ia telah lima tahun dia berada di tempat itu. Berbagai hal yang dulu dianggap tabu oleh bibinya sebagian telah ia lakukan; minum arak, berjudi, mencuri, mengisap tembakau, tak ada yang terlewat. Hanya satu hal yang belum ia lakukan, yaitu bersenggama.
Nyonya A Lan melarang Arum menjajakan tubuh sebelum ia menginjak tujuh belas sui3. Ini adalah umur pemberian Nyonya A Lan, sebab ia tak tahu kapan ia lahir (Bibinya hanya memberi tahu ia lahir lima bulan setelah meletusnya Krakatau dan tsunami yang memorak-prandakan Jawa dan Sumatera). Buatnya tak masalah, sampai usia tersebut tiba, ia masih bisa menghasilkan banyak uang dari pekerjaan gelap yang ia lakukan, selain menjadi petugas kebersihan dan pelayan tentunya. Lagi pula jika saatnya tiba, ia ingin memilih sendiri lelaki yang akan mencoba tubuhnya untuk pertama kali. Pilihannya kemudian jatuh pada seorang pemuda Indo-Belanda berkulit cokelat yang kerap kali datang bersama tiga-empat orang Belanda.
Mulanya, Arum hanya penasaran mengapa pemuda itu berkunjung tapi tidak melakukan apa-apa. Si pemuda hanya menunggu para lelaki Belanda yang datang bersamanya menyelesaikan urusan syahwat dengan para gadis gula-gula sambil minum-minum di lantai bawah. Pemuda itu tetap tak terganggu walau sudah banyak wanita yang menghampiri atau mengajaknya pergi ke lantai dua. Namun, semakin lama ia memerhatikan, penasarannya perlahan berubah menjadi rasa mendalam yang ia sendiri pun bingung bagaimana menjabarkannya.
“Kulihat, kau gemar sekali berdiri di atas tangga ini ketika pemuda Indo-Belanda itu datang kemari.”
Arum terperanjat saat suara Nyonya A Lan terdengar dari belakang. Kepala wanita itu kemudian bersandar di pundaknya. Asap tembakau keluar dari bibirnya yang bergincu merah.
“Kau menyukainya?” kata Nyonya A Lan lagi. Arum tahu itu bukan pertanyan tapi merupakan sebuah pernyataan. Di Rumah Anggrek tak ada yang bisa disembunyikan darinya. Si wanita Tionghoa lantas menegakkan tubuh dan melihat ke bawah, tepat ke arah meja yang diisi pemuda Indo-Belanda yang selama beberapa waktu ke belakang berhasil mencuri perhatian Arum. “Jika kau menyukainya, kenapa tidak langsung ditangkap saja?”
Gadis itu menggeleng pelan.
Nyonya A Lan pura-pura terkejut. “Jangan bilang kau tidak berani? Oh, Adik kecil, apakah kau lupa dengan semua ajaran kami?” Ia membelai tangan Arum dengan kuku telunjuknya yang berkuteks merah. “Untuk menjadi penghibur nomor satu, kau harus mengesampingkan ketakutanmu itu. Kau tidak akan mampu hidup di dunia yang keras ini jika kau masih jadi pengecut.”
Arum tetap merasa ragu. Walaupun telah mendapat wejangan dari Nyona A Lan, rasanya ibarat pungguk yang merindukan bulan.
“Apa yang kau takutkan? Kau tenang saja, pemuda itu hanyalah Kleine-Indo.” Nyonya A Lan mengisap pipa tembakaunya dan mengembuskan kepulan asap putih langsung ke wajah Arum. “Aku beri tahu kau sesuatu, pemuda itu bernama Pieter dan dia sengaja dipekerjakan oleh orang-orang Eropa miskin yang mencoba peruntungan di Hindia Belanda sebagai makelar tanah dan penunjuk jalan. Nah, kau bisa menangkapnya dan biarkan ia jatuh cinta dan kepadamu sekarang.”
“Tapi, aku di sini bukan untuk mencari cinta.” Arum menyanggah. Dahinya mengerut dalam dan wajahnya tegang.
Nyonya A Lan tersenyum geli. “Aku membawamu ke sini bukan untuk menjadi gadis gula-gula. Aku hanya tidak ingin kau mati di jalanan atau jeruji besi. Jika kau telah menemukan cintamu, kejarlah selagi ada waktu sebelum kau dilarang untuk mencintai lelaki itu—ya, kecuali kau sudi untuk dijadikan gundik olehnya. Tapi kupikir itu tidak akan mungkin. Dia miskin. Kau akan yang menjadi satu-satunya.” Wanita itu kemudian mendorong punggung Arum dan mengisyaratkannya untuk segera turun.
Gadis itu melirik Nyonya A Lan sekali lagi sebelum menuruni tangga. Setiap langkah yang ia ambil, ia merasa dirinya sedang membuka jalan yang dipersiapkan Dewa untuk mengubah hidupnya. Dalam hati ia berdoa semoga jalan yang ia tempuh ini akan berakhir tanpa adanya kekecewaan.