Arum tidak bisa memastikan apakah perkataan Pieter sungguhan atau malah sebaliknya. Ia bingung menentukan tindakan apa yang akan ia ambil. Di satu sisi, ia ingin memastikan langsung, tapi di sisi lain ia takut jika harapannya jadi kenyataan maka ia akan menikah dengan pemuda itu dan meninggalkan Rumah Anggrek. Tidak mungkin. Ia tidak ingin dicap sebagai orang tidak tahu terima kasih karena mencampakkan tempat yang sudah mau menerimanya. Ia juga tidak ingin menceritakan ini pada Nyonya A Lan karena ia sudah menduga apa yang akan wanita baik hati itu katakan.
Sikap Pieter padanya pun berubah. Jika semula hanya sebagai seorang pelanggan, tapi kini pemuda itu memperlakukannya seolah-olah dia adalah seorang gadis dari keluarga baik-baik. Sesekali si Pemuda Indo-Belanda membawakannya makanan atau hadiah kecil seperti tusuk rambut atau bros dan peniti rantai. Ia tahu pemberian yang Pieter memang tak seberapa. Namun, selama ia hidup belum ada seorang pemuda pun yang memberikannya sesuatu, kecuali bingkisan cuma-cuma yang diberikan oleh satu pengunjung setia Rumah Anggrek sebagai kenang-kenangan karena dia mampu memuaskan pria hidung belang itu saat melayani mereka di meja tamu.
Kian lama rasa cintanya pada Pieter kian bergelora dan Arum sudah tak tahan lagi. Setelah menghabiskan sekian waktu untuk merenung dan bertanya pada diri sendiri akhirnya ia memilih untuk mengutarakan isi hatinya. Biarlah urusan apa yang akan ia lakukan ke depannya ia pikirkan nanti.
Sekarang di sini lah dirinya. Duduk di meja barisan paling depan dekat panggung. Meja ini adalah meja favorit mereka berdua menikmati musik gambang kromong dan teh hangat sepanjang malam. Arum memandang para penari cokek yang menari luwes dengan gelisah. Salah seorang penari memberi isyarat mata padanya dan ia segera tahu apa artinya itu. Pieter telah datang. Di depan pintu, pemuda itu berdiri bersama dua tentara. Salah satu tentara meninju bahu pemuda Indo-Beland aitu sambil mengucapkan suatu kalimat yang sulit didengar sebelum dua wanita Belanda yang juga menjadi penghibur di Rumah Anggrek ikut bergabung bersama mereka. Tak lama, dua tentara itu naik ke lantai dua ditemani wanita publik tadi.
Jantung Arum berdebar kencang seirama dengan ketukan langkah kaki Pieter yang berjalan menghampirinya.
“Kau tampak cantik hari ini. Apalagi rambutmu terhias tusuk rambut yang kuhadiahi,” puji Pieter dan Arum lekas tersipu malu. Gadis itu tanpa sadar menyentuh gelungan rambutnya yang diikat dengan tusuk konde berbahan kuningan berukir bunga.
Pandangan pemuda Indo-Belanda itu lantas turun ke bawah. Ia tersenyum lebar ketika menemukan bros dan peniti perak yang ia hadiahkan tersemat di dada Arum. “Aku bersyukur kau menyukai pemberian dariku,” katanya lagi.
Arum yang tak tahan menerima pujian Pieter yang datang bertubi-tubi pun berdiri, bermaksud untuk melayani si pemuda dengan menarik kursi untuknya, tapi Pieter melarangnya dan berkata ia bisa melakukannya sendiri.
“Oh, lihatlah kau telah menyiapkan teh, arak, dan berbagai kudapan. Apakah ada hal serius yang ingin kau katakan padaku?” tanya Pieter dengan nada menggoda.
Gadis itu tercekat dan mengangguk kaku. Todongan tepat yang dilontarkan Pieter barusan membuatnya malu.
Pieter seketika tergelak, lalu mencondongkan tubuh, “Apa yang ingin kau katakan padaku? Katakanlah.”
“Aku menyukaimu, Tuan,” katanya dengan mencicit. Ia lantas menunduk lagi.
“Kau bilang apa? Maaf, aku tak mendengarnya. Suara gambang di panggung terlalu keras.”
Arum menahan napas. Matanya terpejam erat. Sekujur wajah dan telinganya telah memerah. “Aku menyukaimu, Tuan Kjilorv,” ujarnya dalam sekali tarikan napas.
Pieter mengambil dua tangan Arum dan mengecupnya mesra hingga membuat gadis itu terperanjat. “Apakah ini artinya aku telah memiliki izin darimu? Aku berjanji akan menikahmu secepatnya. Namun—” Pemuda itu tak segera melanjutkan kalimatnya dan ini membuat Arum resah.
“Namun?” Gadis itu membeo.
“Ada satu hal yang harus kulakukan sebelum menikahimu,” ucap Pieter dengan wajah serius.
Pemuda itu mengatakan jika ia telah membuat rencana untuk pergi ke Belanda, mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi kepergiannya ini pasti terlaksana. Tinggal menunggu waktu saja. Arum seketika merasa sedih dan kecewa. Tetapi kemudian Pieter beralasan bahwa kepergiannya ke Belanda hanya sebentar. Ia punya urusan yang sangat mendesak dan tidak bisa ditunda.
“Apakah ini karena cemooh Tuang Bouwman tempo hari?” tanya Arum. Ia masih ingat betul kejadian di mana Pieter berani terang-terangan menantang seorang Belanda totok di hadapan banyak orang.
Pieter menggeleng. “Jauh sebelum itu aku sudah membuat rencana ini.”
Arum menggigit bibir. Haruskah ia bertanya? Namun rasa penasarannya begitu menyiksa.
“Ada yang ingin kau tanyakan lagi padaku?” kata Pieter, seakan-akan dia telah mengetahui apa yang mengganjal di benak Arum.
Gadis itu menelan ludah gugup. “Bolehkah—bolehkah aku tahu rencanamu itu, Tuan?”