Mawar Derana, Arum Lara

Anisha Dayu
Chapter #18

Sudah jatuh, tertimpa tangga

Sebagaimana orang bijak berkata: kebohongan melahirkan kebohongan yang lain. Arum tak pernah berpikir kebohongan tentang kehamilannya justru membawa petaka. Ia baru mengetahui pasangan Ong belum memiliki keturunan sah bahkan sampai sepuluh tahun usia pernikahan mereka. Karena kondisi inilah status Nyonya Ong terancam, tetapi selama kakeknya masih menjabat sebagai Kapitan Cina, statusnya sebagai istri sah Tuan Ong akan tetap aman.

Nyonya Ong, dengan kelicikannya yang setara dengan sang suami, memerintahkannya untuk mempertahankan kandungan dan kala hari kelahiran tiba, ia akan mengambil anak itu. Masalah ini semakin rumit. Arum semakin terjebak dalam kebohongannya sendiri. Bagaimana ia mempertahankan kandungan bila sedari awal dia tidak hamil? Selama dua hari dirinya berpikir keras bagaimana caranya keluar dari masalah ini.

Hanya ada satu cara yang terpikirkan olehnya.

Paginya, dia menjatuhkan diri dari tangga lantai dua Rumah Anggek. Kakinya terkilir dan kepalanya terluka.

“Aku tidak suka kau menyembunyikan sesuatu dariku. Cepat katakan, apa yang sedang kau rencanakan?” tanya Nyonya A Lan yang baru sempat menengok di siang hari usai dia memenuhi janji temu dengan seorang kawan di Teluknaga1.

Arum menangis layaknya anak kecil di hadapan wanita itu. “Ini semua karena kebodohanku, Nyonya. Dengan ini aku akan memperbaiki semuanya.”

“Dengan mencelakai dirimu sendiri? Pernahkah kau terpikir apa yang kau lakukan sekarang sama saja seperti dirimu yang baru kupungut dulu?”

Arum gamang; antara menyangkal dan menyetuji perkataan Nyonya A Lan. Ya, dia memang tetap orang dungu dan kekanakan. Tetapi dirinya yang sekarang melakukan ini semua dengan tujuan untuk kabur dari masalah. “Nyonya A Lan, maukah kau berjanji kepadaku?” tanyanya kalut.

“Apa itu?”

“Kau harus berjanji tak akan melarang apapun yang akan kulakukan. Kau juga harus berjanji untuk menutup mata jika terjadi sesuatu kepadaku.”

Nyonya A Lan mengulum bibirnya dan membalas ragu, “Baiklah.”

Arum berusaha tersenyum. “Aku juga mau minta satu hal kepadamu—aku tahu, aku orang yang tidak tahu diri, tapi ini adalah permintaan terakhirku kepadamu.”

Wanita yang telah menolong berkali-kali itu memberikan Arum kesempatan untuk berbicara tanpa bertanya.

“Jika suruhan Nyonya Ong kemari, bilang padanya jika aku telah kehilangan bayiku karena kecelakaan ini.”

“Kau memerintahkanku untuk berbohong? Oh, yang benar saja!” Nyonya A Lan memarahinya, tapi Arum menganggap marahnya wanita itu adalah sebuah bentuk kepedulian.

“Ya, hanya itu permintaanku, Nyonya. Setelah ini aku janji tidak akan menyusahkanmu lagi.”

Nyonya A Lan menyentil telinga Arum sebelum berdiri. “Baiklah. Aku bukanlah orang yang ingkar. Aku akan mengatakan itu jika urusan Nyonya Ong kemari.”

*

Sesuai yang Arum perkirakan, suruhan Nyonya Ong datang di sore hari. Nyonya A Lan menyampaikan kepada suruhan tersebut persis seperti apa yang dikatakan Arum siang tadi.

Belasan dari Nyonya Ong tiba keesokan harinya bersama dengan surat dan lembaran uang yang ditujukan untuk Nyonya A Lan. Dalam surat itu Nyonya Ong berniat membeli Arum dan menjadikannya ibu pengganti atas persetujuan Tuan Ong.

Nyonya A Lan tentu tak bisa menolak karena Nyonya Ong adalah salah satu orang dengan gelar sia2.

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Hanya dalam waktu kurang dari seminggu semua hal terjadi dalam dunia Arum. Kini dia bukan lagi penghuni Rumah Anggrek, melainkan istri kedua Tuan Ong. Ia dinikahi pria itu di bulan Maret, tahun anjing tanah3. Statusnya ini tak bisa ia banggakan karena pada dasarnya, dia adalah ibu pengganti bagi Nyonya Ong yak tak kunjung memiliki anak.

Kehidupan Arum selepas ia pindah ke kediaman Ong di Glodok tak bedanya dengan tahanan. Yang ia lakukan cuma makan, tidur, melamun, dan menunggu malam untuk digauli sang kepala keluarga. Paginya, jika hari itu ia bukan berada di hari yang telah ditentukan oleh tabel prediksi jenis kelamin bayi4 maka ia tetap harus meneguk ramuan penunda kehamilan. Semua itu ia jalani selama berhari-hari, berminggu-minggu hingga akhirnya dirinya dinyatakan hamil tiga bulan kemudian.

“Aku hanya menginginkan anak lelaki. Aku tidak menginginkan anak perempuan,” cetus Nyonya Ong suatu ketika di saat kandungannya menginjak bulan kedua. “Setelah kau melahirkan bayi laki-laki, kau bisa bebas.”

Perutnya bahkan masih rata, tapi ucapan itu seolah rantai yang menjerat lehernya.

Nyonya Ong memberinya waktu sampai tiga tahun, jika sampai saat itu tiba ia belum juga melahirkan putra maka taruhannya adalah nyawa dan tentu saja perkataan Nyonya Ong itu terus-menerus menghantuinya sepanjang waktu sampai suatu ketika ia merasa ada yang tak beres dengan anak yang di perutnya

Usianya kandungannya kini telah menginjak lima bulan dan ia tak merasakan gerakan apapun di dalam sana. Apakah bayinya baik-baik saja? Dia tidak mati, kan? Saat ia menceritakan hal ini pada salah satu pelayan rumah yang sekarang berubah menjadi pengurusnya, Nyonya Ong tak sengaja mencuri dengar. Wanita itu sangat marah dan segera memanggil tabib untuk memeriksa.

Bagai disambar guntur. Arum menerima kabar bahwa bayinya telah meninggal dan harus cepat dikeluarkan. Ia menerima tamparan keras dari Nyonya Ong sebelum wanita itu memaksanya menenggak obat barbau busuk yang sangat pahit. Malamnya ia luar biasa mulas. Karena tak tahan dengan sakit yang mendera ia berteriak sekuat tenaga. Dua pelayan datang bersama tabib yang akan membantunya melahirkan mayat bayinya. Proses yang amat menyakitkan itu membuatnya harus mengejan selama hampir semalaman. Dengan bantuan pijatan di perut akhirnya bayinya keluar.

Bayi yang masih berlumuran darah itu ternyata berjenis kelamin laki-laki.

Lihat selengkapnya