Kepergian Tuan Ong ke Pekalongan membuat Arum bersorak girang. Ia telah menyusun rencana cemerlang dalam benaknya. Malam itu ia mendekati Willem yang tegah menunggu tamunya di lantai satu. Dirinya bermaksud meminta bantuan pemuda Indo-Belanda itu untuk mempertemukannya dengan Pieter.
Mulanya Willem keberatan, tapi setelah Arum memberinya uang, pemuda Indo-Belanda itu pun menyanggupi. Mereka pun membuat temu janji keesokan hari tepat pukul sepuluh pagi. Dengan menaiki delman Willem membawanya ke Passer Baroe. Toko-toko milik Tionghoa dan India berjajar. Beberapa delman menunggu di pinggir jalan. Setelah melewati toko kain sutra, ia berbelok ke kiri di gang pertama.
“Pieter ada di sini,” tandas Willem.
Aroma kulit yang baru disamak beserta bau lilin dan minyak seketika menyerbu hidung, Arum melirik papan nama yang berada di atas pintu kayu yang terbuka lantas mengeja tiap huruf latin pada papan itu pelan-pelan.
Toko Sepatu Babah Liem.
“Mengapa kau membawaku kemari, Tuan? Aku tidak butuh sepatu.”
“Pieter bekerja di sini. Masuklah dan temui dia. Di jam-jam seperti ini si tauke1 masih berada di gudang sehingga kau bisa bebas mengobrol dengannya,” ujar si pemuda Indo-Belanda sembari menunjukkan tas selempang besar berisi setumpuk surat dan paket kecil. “Aku harus pergi sekarang karena aku masih punya banyak pekerjaan.”
“Tunggu sebentar. Tuan yakin dia berada di sini? Setahuku Tuan Kjilorv bekerja sebagai pencatat kedaster?”
“Dia dipecat. Oh, kau tak akan mau tahu bagaimana dia berkelahi dengan para trekkers2 miskin yang berusaha menjatuhkannya hanya karena iri.”
Perempuan itu tanpa sadar menahan napas. “Bagaimana itu bisa terjadi, Tuan? Yang kutahu Tuan Kjilorv tak pernah mau membuat masalah.”
Willem tertawa pahit dan meludah karena jengkel. “Mereka iri karena Pieter hendak dipromosikan menjadi staf administrasi junior.”
Arum sangat sedih mendengar berita itu. “Apakah tidak ada jalan lain untuknya?”
“Ada. Tapi ini agak mustahil. Pieter hanya membutuhkan seorang ‘sponsor’ agar ia bisa melawan bedebah-bedebah totok itu. Nah, Nona, aku harus segera pergi karena pekerjaanku menanti.”
Willem kemudian meninggalkannya. Arum mengipasi wajahnya dengan kipas kertas yang dibawa saat memasuki toko. Ia mengamati sepatu-sepatu kulit pria yang terpajang di rak-rak kayu bagian depan. Fokusnya terpecah ketika telinganya menangkap hardikan bahasa Belanda yang diucapkan seorang pria dari dalam. Karena penasaran ia pun mendekat.
Betapa terkejutnya ia tatkala menemukan Pieter yang tengah mendunduk dengan tangan tertaut di depan tubuh. Di hadapan pemuda itu seorang lelaki Belanda tua berdiri sambil berkacang pinggang. Wajahnya merah padam. Lelaki itu memuntahkan beragam makian yang hanya dibalas anggukan oleh Pieter.
Secara mengejutkan si lelaki tua meludahi wajah Pieter. Arum tercengang meskipun yang tindakan yang diterimanya mampu membuat siapapun naik pitam, tetapi Pieter tak bereaksi. Wajahnya tetap tenang dengan jemari tertaut di depan tanpa sekali pun menunjukkan raut sakit hati di wajah. Si lelaki Belanda lantas meninggalkan toko setelah ia melemparkan kotak sepatu ke kepala Pieter.
Arum refleks menghambur ke arah pemuda Indo-Belanda. “Astaga, apakah kau terluka, Tuan?” tanyanya sembari memeriksa keadaan Pieter.
Pieter menggeleng. Ia mengusap wajah lalu membereskan sepasang sepatu milik si lelaki Belanda tua. “Kupikir kejadian tadi persis seperti salah satu adegan di pentas tonil,” selorohnya. Ia lantas memfokuskan atensinya pada Arum. “Aku minta maaf kepadamu karena kau harus menyaksikan adegan tadi.”
“Mengapa Tuan minta maaf?” Arum tak habis pikir, Pieter seharusnya marah. Namun ia juga sadar pemuda itu tak punya pilihan. Seakan-akan ia berdiri di antara jurang dan tebing.
“Apa yang membawamu kemari, Nona?”
Arum mengigit bibir. Terkutuklah hatinya. Mengapa dia jadi ragu? Padahal dia sudah yakin rencananya ini akan berhasil.