Nahas apa yang dipikirkannya benar-benar terjadi. Tuan Ong marah besar mengetahui kalung pemberiannya tak berada di leher Arum.
Laksana badai yang mengamuk pria Tionghoa itu menampar Arum dan bertanya untuk kesekian kali. “Di mana kalung itu?”
Arum yang awalnya tertelungkup di lantai akibat pukulan yang diterima sebelumnya pun bangkit. Dengan tergopoh-gopoh ia menghampiri Tuan Ong dan memeluk lutut si pria. “Maafkan aku, Tuang Ong. Maafkan aku,” katanya putus asa. Air mata bercucuran di pipinya yang lebam kebiruan.
“Aku tahu kau pasti menjualnya.” Tuan Ong menjenggut rambut rambut Arum.
“Tidak. Aku tidak menjualnya. Aku jujur, Tuan.”
Satu tamparan keras kembali bersarang di pipi Arum. Tak berhenti sampai di situ, ia juga menendangnya. Bagai kesetanan, tangan beserta kaki si pria terus-menerus menghantam tubuh ringkih perempuan itu, tak peduli perempuan itu berkali-kali menjerit kesakitan dan memohon ampun.
Beberapa menit kemuidan, Tuan Ong akhirnya berhenti. Dengan napas terengah-engah si pria Tionghoa menatap Arum yang tergeletak tak berdaya sambil tersenyum puas.
“Aku beri kau kesempatan sekali lagi, Cabo kecil. Di mana kalung itu? Jika kau tak kunjung menjawab, aku bisa meminta A Lan untuk bertanggung jawab,” ujarnya seraya meludah. Ia kemudian beranjak dan hendak meninggalkan Arum yang tergeletak nyaris tak sadarkan diri.
Namun Arum adalah orang yang tak mudah menyerah. Tatkala ia mendengar bunyi gagang pintu yang dibuka, ia pun berkata. “Tuan Ong. Jangan,” katanya dengan susah payah. Berbekal sisa tenaga yang ia miliki ia merangkak ke arah pria Tionghoa itu. “Jangan libatkan Nyonya A Lan. Kumohon,” katanya dengan suara bergetar. Sebelum ia berhasil menyelesaikan kalimatnya, kesadarannya telah terenggut terlebih dulu.
Arum baru tersadar hari berikutnya. Selama ia pingsan, Nyonya A Lan yang merawat. Wanita Tionghoa itu bercerita bagaimana Tuan Ong yang murka mendatangi Rumah Anggrek setelah memukulinya. Si Pria Tionghoa memerintahkan untuk mencari kalung itu di seluruh bangunan. Ia bahkan memerintahkan beberapa algojo untuk memeriksa di setiap kamar. Tak ada satu sudut pun yang terlewati.
Lantaran tak kunjung menemukan kalung itu, Tuan Ong bergegas ke Passer Baroe dan menyambangi toko sepatu Babah Liem malam-malam buta. Di lantai dua toko itu menjadi tempat tinggal bagi karyawan toko Babah Liem termasuk Pieter.
Arum terkejut setengah mati setelah mendengar Pieter disebut. "Apa yang membuat Tuan Ong mencari kalung itu di sana?”
“Salah satu gadis gula-gula di sini tak sengaja percakapanmu dengan Tuan Willem. Dan Tuan Willem yang membenarkan itu. Penjaga pintu Rumah Anggrek pun menambahkan bahwa terakhir kali kau keluar dari sini adalah di mana kau bertemu dengan Pieter di Passer Baroe tiga hari lalu.”
Wajah Arum mendadak pias. “Apa yang terjadi setelahnya, Nyonya?”
“Tuan Ong sempat bersitegang dengan Babah Liem. Namun, karena Babah Liem tak ingin terjadi perkelahian, ia mengizinkan Tuan Ong membawa pergi Pieter.”
Perempuan itu merasa setengah jiwanya meninggalkan raga.
Nyonya A Lan juga mengungkapkan bahwa Pieter tidak diseret ke kantor polisi. Tuan Ong pun tak ingin membawa kasus ini ke Raad van Justitie1 karena hal ini akan sangat mempengaruhi nama baik keluarganya.
“Lalu, sekarang di mana Tuan Kjilorv berada Nyonya? Apa Nyonya mengetahuinya?”
Nyonya A Lan terlihat enggan untuk menjawab, tetapi Arum terus mendesaknya.