Mawar Derana, Arum Lara

Anisha Dayu
Chapter #21

Bak anjing terjepit pagar

Arum tersentak bangun dan bernapas terengah-engah. Keringat membasahi pelipis. Kenangan kelam yang tak ingin dia ingat kembali menghantui. Ia merasa bak anjing terjepit pagar. Selama beberapa saat ia terpaku. Matanya mengelilingi ruangan. Rupanya ia masih berada di kamar anak majikannya. Apakah dia tertidur ketika menyusui dan lupa memindahkan bayi itu ke boksnya? Menurut Pieter, ranjang di kamar ini dulunya diperuntukkan untuk Rosalie beristirahat saat menyusui dan sebuah boks bayi yang digunakan untuk tempat tidur Arne.

Pelan-pelan ia berguling ke kanan dan meringis karena bekas luka yang ia dapatkan bertahun-tahun lalu itu masih terasa sakitnya.

“Ma ... ma ....”

Arne yang terbaring di sampingnya tengah asyik menendang-nendang udara dan berceloteh dengan mulut penuh bekas asi. Perempuan itu mendengkus lalu menyentil telinga si bayi.

Ia kemudian merapikan payudaranya yang keluar dari kebaya sebelum bangkit dari kasur. Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Sudah waktunya ia memandikan bajingan kecil ini. Setelahnya dia akan menyusui di ruang tamu sampai Pieter selesai sarapan. Usai sarapan, bersama Arne, ia biasanya akan mengantar sang tuan sampai gerbang. Betapa bahagia kehidupannya jika dari awal dia yang berada di posisi Rosalie. Tetapi sekarang dialah yang berperan menggantikan perempuan totok itu dan ia yakin sebentar lagi akan memiliki posisi itu secara sah.

“Arum.” Pieter memanggil.

Arum buru-buru berdiri. Dalam gendongannya Arne menggeliat dan merengek kecil karena dirinya yang bergerak tiba-tiba. “Ada yang bisa kubantu, Tuan?” tanyanya dengan bahasa Belanda.

Pieter berkacak pinggang, lalu menunjuk set meja kerjanya yang terletak di depan kamar utama. “Di mana tasku yang kemarin kusimpan di sini?” ujarnya dengan bahasa Melayu.

“Maaf, Tuan. Tapi Tuan semalam meletakkan tas itu di samping lemari hias di ruang makan. Bukan di sana. Apa perlu kuambilkan?” Arum tetap bersikeras berbicara dengan bahasa Belanda pada Pieter, meski sang majikan sering kali enggan bercakap-cakap dengannya menggunakan bahasa tersebut.

“Diam di sana. Biar aku saja yang mengambilnya,” ucap si tuan, yang pada akhirnya menggunakan bahasa Belanda. Seperti yang sudah-sudah. Arum tersenyum puas.

Pieter muncul tak lama kemudian membawa tas yang dimaksud. Saat melintasi meja ruang tamu, lelaki itu mengernyit melihat jambangan di meja dengan tatapan yang tak bisa Arum baca maksudnya. “Kau yang merangkai bunga ini?”

“Ya, Tuan. Bunga-bunga sedap malam di kebun belakang telah mekar, jadi aku membuatnya menjadi isi jambangan. Semalam bunga ini mekar dan semoga wangi harum dari bunga ini bisa membuat tidur Tuan lebih nyenyak.” Nada suaranya mendayu dan tatapannya malu-malu. Tiap lelaki yang datang ke Rumah Anggrek menyukai bahasa tubuh ini dan ia yakin Pieter pun begitu.

Pieter tergelak, membalik badan untuk menghadap cermin berbingkai kayu yang terpasang di dinding. “Sejujurnya aku tidak menyukai wangi-wangi bunga. Apa pun itu. Di hidungku semuanya bau,” katanya santai sambil membetulkan dasi.

Arum menunduk. Mukanya memerah malu lantaran sang tuan tak menunjukkan reaksi yang ia inginkan. “Apakah aku harus membuangnya, Tuan?” tanyanya dengan suara pelan.

“Lakukan sesukamu.”

Dalam hati Arum bersorak kegirangan dan diam-diam tersenyum karena mengira Pieter membiarkan dirinya menghapus eksistensi Rosalie.

“Kau sudah menaruh paket buku untuk nyonya yang kusiapkan tadi malam, kan?” Pieter kembali bertanya. Ia mendekati Arum untuk mengelus kepala Arne yang berada dalam gendongan perempuan itu.

“Sudah, Tuan. Semoga nyonya menyukai buku-buku itu dan tidak akan kesepian di rumah sakit.”

Lihat selengkapnya