Empat bulan berselang dari kematian bayinya yang pertama, Arum dinyatakan positif mengandung oleh tabib. Nyonya Ong memindahkannya dari kamarnya yang lama ke bangunan utama untuk menjaga agar dirinya tetap sehat sampai hari persalinan tiba. Di bangunan utama dia dilayani bak ratu. Ada beberapa pelayan yang membantunya untuk mandi, berpakaian, makan, mengambilkan segala yang ia butuhkan, beserta membersihkan kamar. Ia yang tak pernah mendapatkan hal semacam ini pun merasa canggung. Ia bisa sedikit bernapas lega karena gadis-gadis muda yang melayaninya cukup ramah dan bersedia diajak mengobrol.
“Kakak Arum, aku datang membawa obat herbal untukmu,” ucap salah seorang gadis pelayan. Dia lantas menyerahkan sebuah gelas keramik kecil padanya.
Arum memandang gelas itu dengan bingung. “A Siang, bukankah aku sudah minum obat dari tabib sehabis makan tadi? Mengapa aku harus minum lagi?”
Gadis pelayan itu melirik kikuk. “Aku tidak tahu. Tapi Tuan Ong yang memberikan obat ini untuk kau minum,” katanya dengan lirih.
Isi dalam gelas itu tampak bening kekuningan seumpama warna teh bunga krisan. Meskipun ia sedikit ragu, tetapi ia tetap menenggak obat herbal itu sampai tandas. Ia bersyukur karena obat itu tidak meninggalkan rasa apapun di lidah.
Hari berganti minggu, minggu berubah bulan. Kandungan Arum kian membesar. Ia semakin senang mengusap perutnya lantaran sekali usapan yang ia lakukan maka akan dibalas dua kali tendangan oleh bayinya. Terasa sedikit agak ngilu sebenarnya, tapi ia menyukai sensasi sakit kecil itu. Ia terkadang akan membuatnya seolah-olah permainan kerjar-kejaran. Jika ia mengelus di sebelah kiri, tendangan ia terima, lalu ia akan berpindah ke sebelah kanan, ke atas atau ke bawah—begitu seterusnya karena anak dari kandungannya itu akan mengikutinya ke manapun.
“Kakak Arum, waktunya minum obat herbalmu.” A Suan dengan ceria memberikan obat herbal bening kekuningan itu kepadanya.
“Terima kasih.” Arum lantas meminum obat itu sampai habis dan mengembalikan gelas keramik itu kepada si pelayan. Namun ia segera memuntahkan obat tadi usai pelayan tadi keluar kamar. Hal ini telah ia lakukan selama beberapa minggu. Ia memang tidak tahu obat apa itu, tapi hati kecilnya mengatakan ada hal yang tidak beres menghantui.
Tanpa diduga, apa yang menjadi kecurigannya terbukti. Suatu pagi saat Nyonya Ong sedang pergi mengunjungi kerabat di dekat kelenteng Boen Tek bio, Arum tak sengaja mencuri dengar percakapan antara Tuan Ong dan A Siang, si gadis pelayan yang sering memberikannya obat herbal tambahan. Arum begitu terkejut karena si pelayan mengetahui bahwa ia tak selalu memuntahkan obat itu. Satu tamparan keras dari Tuan Ong lantas bersarang di pipi si pelayan. Dengan panik Arum kembali ke kamarnya. Tak berapa lama, pintu kamarnya didorong kuat. Tuan Ong masuk dengan wajah memerah murka.
“Kenapa kau tidak minum obatmu!” Tuan Ong menampar Arum hingga ia tersungkur ke kasur.
Entah keberanian dari mana Arum membelas dengan meludahi wajah pria itu. Tak terima, Tuan Ong menarik kasar rambut Arum hingga dirinya menangis dan mengaduh kesakitan seraya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.
“Campurkan semua obat yang kuberikan dengan air dan bawa ke sini. Cepat!” Suara Tuan Ong yang memerintah A Suan bagai petir yang menyambar. “Dan untukmu Cabo Kecil. Kau akan menerima pembalasan karena beraninya kau menantangku.”
“Apa yang coba kau lakukan padaku?!” teriak Arum sama marahnya.
Tuan Ong seketika terbahak. “Aku hanya tak ingin kau cepat-cepat pergi dari rumah ini.”
Beberapa menit kemudian si pelayan kembali sembari membawa panci yang entah apa isinya. Tuan Ong bergegas menyambar panci itu dan memaksa Arum untuk meminumnya hingga habis.