Begitu siuman, Arum sudah berada di kamarnya di Rumah Anggrek. Matanya berkeliling ke seluruh penjuru kamar dengan bibir bergetar manahan tangis. Dia begitu merindukan tempat ini. sewaktu ia mencoba bangkit dari rebah, rasa perih dan nyeri seperti tertusuk menjalar dari perut ke sekujur tubuh.
Tidak. Ia harus bangun. Tenggorokannya kering dan ia butuh minum.
Arum lantas memaksa dirinnya untuk terus bergerak. Tangannya menggapai-gapai sebuah gelas terisi penuh yang berada di nakas samping tempat tidur. Sayang walaupun ia telah berusaha sekuat tenaga, ia yang masih belum plih benar hilang keseimbangan. Dirinya kembali jatuh terlentang dan tanpa sengaja tangannya menyenggol lampu porselen yang berada di dekat gelas.
Suara pecahan porselen yang menimpa lantai bergema. Ia menghela napas panjang. Tak lama berselang pintu kamarnya terbuka. Nyonya A Lan masuk dengan terengah-engah. Matanya tampak sangat bengkak. Wajahnya menunjukkan kepanikan yang kentara.
“Syukurlah kau telah sadar. Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa? Apakah kau terjatuh?” Wanita Tionghoa itu memberondonginya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
Arum menggeleng sambil menepuk paha Nyonya A Lan yang kini duduk di sampingnya. “Aku tidak apa-apa, Nyonya. Aku hanya haus tadi.”
Nyonya A Lan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Biarpun ia tak mengungkapkannya, tetapi Arum tahu wanita itu tengah mengkhawatirkannya. Selama beberapa saat mereka berbincang. Nyonya A Lan sangat terpukul mendengar kondiri Arum beberapa waktu ke belakang. Ia sungguh tak menyangka Tuan Ong bisa sekeji itu. Yang wanita itu tahu, Tuan Ong hanyalah pria yang suka bersenang-senang, ia tidak tahu jika pria itu juga kejam dan senang menyiksa perempuan. Nyonya A Lan juga menceritakan bagaimana akhir dari nasib Tuan Ong setelah ditangkap polisi. Pria itu dijatuhi hukuman kurungan dan denda atas pasal percobaan pembunuhan. Nyonya Ong menggunakan kasus ini sebagai dalih untuk menceraikan Tuan Ong dan meninggalkan Batavia lalu kembali ke Surabaya.
Mendengar kabar itu Arum merasa sangat puas. Ia benci dua orang itu dan mengutuk Tuan Ong agar membusuk di penjaran dan semoga Nyonya Ong tak pernah diberikan kesempatan untuk melahirkan bayi selamanya.
“Pieter telah pergi ke Belanda beberapa bulan setelah pernikahanmu dengan Tuan Ong.”
Informasi itu adalah masalah yang paling tak ingin ia dengar. Separuh hatinya telah jauh pergi meninggalkannya dan ia tak tahu apakah ia bisa mengembalikan lagi seperti sedia kala.
“Apakah aku bisa kembali menjadi wanita publik di sini?”
Nyonya A Lan tampak sangat terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Arum. “Dengan semua yang sudah terjadi padamu kau masih ingin menjadi wanita publik? Tidak akan kuizinkan.” Wanita itu lantas berdiri dan menudingnya. “Aku akan mengirimmu ke Lasem. Kau bisa tinggal di rumah kenalanku di sana untuk memulihkan diri.”
Arum melemparkan tatapan tak terima padanya. “Apakah sekarang aku membutuhkan izinmu untuk melakukan apapun yang kumau?”
Wanita Tionghoa itu merunduk dan mendekatkan wajahnya tepat di depan muka Arum. “Karena kau berhutang nyada padaku. Aku sudah membereskan barang-barangmu. Besok pagi kau bisa berangkat karena aku sudah memesan tiket kereta untukmu.”
Setelah menjadi tahanan sekarang dia selayaknya anjing penjaga yang tak punya kendali atas diri? Yang benar saja. Sesampainya di Lasem. Arum menempati sebuah kamar kecil di lantai dua rumah milik seorang wanita Tionghoa bernama Nyonya Nio. Seorang peranakan, yang kalau ditaksir, berusia tiga puluhan, sama seperti Nyonya A Lan. Lantai satu rumah itu digunakan sebagai toko batik dan pakaian.
Di minggu-minggu awal semenjak kepindahannya, tak sekalipun Arum mengirim surat kepada Nyonya A Lan, walaupun wanita itu sudah berpesan kepadanya untuk selalu berkirim kabar. Ia masih menyimpan amarah pada Nyonya A Lan dan tak berniat untuk menyelesaikannya dalam waktu dekat.
Waktu yang ia habiskan sehari-hari hanya melamun di lantai dua dan berkali-kali ia melewatkan makan. Alhasil, suatu hari ia terserang muntaber parah yang mengakibatkan ia tak bisa bangun dari tempat tidur. Di pembaringannya Arum menangis tersedu-sedu karena berpikir mungkin ini adalah akhir dari hidupnya. Namun ia beruntung Nyonya Nio senantiasa berada di sisinya untuk merawat.