Malang tak dapat dihindari, mujur tak dapat diraih. Pernikahan Tuan Phua dan Yan Yan dilangsungkan dengan meriah. Arum mengikuti semua prosesi itu dengan setitik perasaan cemburu. Terutama ketika mereka berdua melakukan tiga kali sujud di hadapan altar leluhur. Dalam hati Arum merintih, mungkinkah ia bisa sebagaimana mereka melakukan semua upacara itu?
Dari tempatnya duduk, Arum menyaksikan wajah Yan Yan yang tersenyum sangat cantik dan bersinar. Tatkala pandangannya berpindah pada bagian mempelai wanita, ia bisa melihat sorot kebencian yang dilayangkan ibunda Yan Yan kepadanya. Ya, Arum tahu. Ibu mana yang ingin melihat perempuan lain yang dicintai menantunya. Apalagi perempuan itu mengikuti seluruh upacara pernikahan anaknya selayaknya keluarga.
Pernikahan antara Tuan Phua dan dirinya berlangsung tiga bulan kemudian. meskipun Nyonya A Lan dan Nyonya Nio berulang kali menasehatinya, telinganya seolah-olah tuli dan mengangap mungkin ini adalah jalan yang dewa berikan untuk kebahagiannya. Upacara pernikahan itu dihadiri Nyonya A Lan, Nyonya Nio, dan beberapa kawannya dari Rumah Anggrek. Sementara orang tua Tuan Phua dan kerabatnya tak ada satu pun yang hadir dan Arum bisa menerima jika pernikahannya ini tak dicatat oleh di catatan sipil, sangat jauh berbeda dengan pernikahan Tuan Phua dengan Yan Yan.
Setelah pernikahannya ini, Arum diboyong ke kediaman Tuan Phua yang masih dalam satu komplek perumahan milik keluarga Phua di Lasem.
*
Waktu terus berlalu hingga tak terasa kehidupan pernikahan yang menurutnya aneh ini berjalan hampir tiga bulan lamanya. Selama itu, Tuan Phua banyak menghabiskan di bangunan utama, tempat di mana Yan Yan tinggal, sementara akan ada waktu khusus Tuan Phua mengunjungi kamarnya yang kecil dan terletak di sebelah barat bangunan utama. Ia cukup tahu diri dan tak mempermasalahkan saat semua hal yang diterimanya berbeda dengan apa yang diterima oleh Yan Yan, walau hatinya terluka.
Di bulan November, tepat setengah tahun usia pernikahan Arum dan Tuan Phua, ayah Tuan Phua merekomendasikan Tuan Phua untuk berangkat ke Singapura dengan tujuan berdagang. Selama kepergian pria itu, Yan Yan sering berkunjung ke kamarnya untuk menceritakan banyak hal, termasuk hubungannya dengan Tuan Phua yang telah berkembang sangat jauh.
“Aku tidak tahu jika suami adalah orang yang sangat baik. Dia memperlakukanku sangat lembut. Aku ingat ketika aku menangis di malam pertama, dia menenangkan dan memelukku sampai pagi. Malam-malam berikutnya ia bahkan selalu bertanya kepadaku apa yang kuinginkan.”
Mendengar perkataan Yan Yan membuat hati Arum perih. Kecemburuan yang dipupuknya semenjak hari pernikahan mereka pun meledak bak lahar gunung berapi.
“Mungkinkah aku telah jatuh cinta pada suami, Kakak? Kalau itu benar. Apakah sebentar lagi aku akan mengandung? Bagaimana perlakuan suami denganmu, Kakak? Apakah dia juga baik? Pasti baik, karenaa suami juga mencintaimu, kan?” tanya Yan Yan lagi.
Arum mengangguk. Tangannya yang memegang teko bergetar menahan cemburu, tapi sebisa mungkin ia hanya menunjukkan tampang manis di hadapan Yan Yan. “Ya, suami sangat baik.”
Dua minggu setelah percakapan itu, Yan Yan dinyatakan hamil. Seluruh keluarga Phua menyambut dengan suka cita. Sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama karena ketika menginjak bulan ketiga, Yan Yan keguguran.
Diam-diam Arum tersenyum girang.
Di bulan Mei tahun berikutnya, akhirnya Tuan Phua kembali. Ia begitu sedih dan kecewa saat mengetahui ia harus kehilangan bayi yang ditunggu-tunggu olehnya.
Malam itu, seharusnya adalah jadwal Tuan Phua berkunjung ke kamarnya, tetapi pria itu tak bisa datang karena Yan Yan meminta sang suami untuk menemaninya sepanjang waktu. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Arum saat itu hanya tersenyum maklum. Namun usai si pelayan pembawa pesan dari bangunan utama ke kamarnya pergi, perempuan itu langsung merobek bantalnya hingga bulu-bulu angsa bertebaran di seluruh lantai kamar.
Selain pada bantal, Arum juga melampiaskan kemarahannya pada baju-baju yang diberikan Tuan Phua.
Kejadian itu terus berlangsung sampai dua bulan dan Arum sudah sampai pada batasnya. Pada saat makan siang di bangunan utama, ia pun segera mengutarakan maksudnya. Tetapi yang diterimanya kemudian hanyalah penolakan lantaran Yan Yan belum ingin melepaskan Tuan Phua.
“Kalau kau tidak ingin berbagi, mengapa kau dari awal mengizinkanku menikahi Tuan Phua, Yan Yan!” Arum berteriak. Dadanya naik-turun karena geram.
Yan Yan yang tak bisa dibentak pun menangis ketakutan.
“Jaga perilakumu, Arum,” kata Tuan Phua mengingatkan. Walaupun wajahnya pria itu tak menunjukkan rasa kesal, tapi Arum tahu Tuan Phua sedang menahan berang.
Arum mendengkus geli. “Tuan, kau pernah bilang kalau kau lebih mencintaiku dan sama sekali tak mencintai Yan Yan. Lalu apa, selama ini kau hanya peduli pada istri pertamamu. Aku tahu hanya aku hanya istri kedua, tapi tahukah kamu selama pernikahan ini kau hanya pernah menggauliku tidak lebih dari dua puluh kali? Bayangkan, pernikahan ini hampir berjalan setahun. Tapi kau jarang menyentuhku. Yang kau lakukan di kamarku hanyalah mengeluh tentang Yan Yan yang manja lalu tertidur karena kelelahan bekerja. Maaf jika ini menyinggungmu, Adik Yan Yan. Tapi kau harus tahu ini.”