Pagi itu seperti biasa, usai membersihkan diri, ia menyusui Arne di ruang tengah sementara Pieter sarapan di ruang makan. Arum menatap benci Arne dalam gendongannya, tetapi bayi mungil itu malah balas menatapnya dengan bola mata besar dan jernih. Bulu mata bayi lelaki itu panjang dan lentik, mengingatkan Arum pada Rosalie yang juga memiliki bulu mata cantik. Sebelah tangan si bayi kemudian terangkat, mencoba untuk menggapai wajah Arum, tetapi dengan kasar ditepis.
“Bajingan kecil,” katanya setengah jengkel, setengah geli. Bayinya yang ia tinggalkan di Lasem pasti telah sebesar ini. Dia tahu mungkin ada banyak orang yang akan menghakiminya, mencela, dan mengatakan dirinya adalah perempuan paling biadab. Bagaimana bisa seorang ibu menjadikan darah dagingnya sendiri sebagai alat balas dendam? Bisa. Tak ada yang tak mungkin dilakukan dunia penuh ketidakwarasan ini? Ia adalah contohnya.
Jikalau ditanya apakah dia menyesal? Tidak sama sekali. Ia justru lega.
Arum mengelus pipi Arne yang putih kemerah-merahan. Kasihan sekali. Sekecil ini ia harus menghadapi kenyataan ibunya gila dan hampir membunuhnya. Ia berharap semoga di kehidupan selanjutnya bayi itu akan mendapatkan orang tua yang bisa menyayanginya sampai tua.
“Arum,” panggil Pieter. Lelaki itu telah menyelesaikan sarapan dan kini, sebagaimana yang selalu ia lakukan sebelum berangkat, mematut diri di depan cermin berbingkai kayu tepat di ruang tengah. “Aku tidak akan makan siang di rumah seperti biasa karena menghadiri undangan kawanku yang baru kembali ke sini. Malamnya kawanku itu akan bertandang ke sini. Kau siapkan segala sesuatunya dengan baik. Tanya Jum jika kau tak mengerti. Pelayan Nyonya Donnet akan kemari untuk mengantarmu berbelanja pakaian. Jum akan mengurus Arne sementara ketika kau berbelanja.”
“Berbelanja pakaian, Tuan?” tanya Arum bingung.
Pieter berbalik sambil mengangkat alis. “Kebaya-kebaya yang kau kenakan semuanya sudah usang. Kau tak mungkin memakai pakaian nyonya, kan? Kau harus tahu tempatmu. Baju-baju pekimu juga tak kuperkenankan dipakai di rumah ini.”
Kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut Pieter ia anggap angin lalu. Tidak mengapa Pieter terus-menerus menghinanya karena ia tahu kesalahannya pada lelaki itu tak termaafkan. Yang terpenting sekarang adalah Pieter mau menerimanya. Terlebih lelaki itu adalah satu-satunya orang yang menerimanya kembali setelah Nyonya A Lan mengusir dan memutus hubungan dengannya. Nyonya A Lan amat murka setelah mengetahui apa yang ia lakukan di Lasem tanpa sepengetahuannya. Arum memang tak menceritakan kondisinya yang mengandung anak Tuan Phua setelah ia bercerai serta membuat anaknya itu sebagai alat untuk balas dendam. Ditambah ia melarang Nyonya Nio untuk membocorkan hal tersebut.
Arum menatap amplop berisi uang yang diberikan Pieter sebelum lelaki itu berangkat.
Tepat pada tengah hari, Arum pulang bersama dengan tas rotan yang dipenuhi pakaian. Setelah masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu, ia segera mencoba semua pakaian-pakaian yang baru dibelinya. Ia memandangi dirinya yang tengah mengenakan kebaya putih berenda sederhana dan sarung batik berwarna merah dengan gambar bunga-bunga yang ia tak tahu namanya di depan cermin. Tidak ada peki, tidak ada hoa kun lebar yang biasa membungkus kaki, tidak ada sepatu bordir yang biasa ia kenakan; untuk sesaat ia seakan-akan melihat sosok pribumi yang dulu ia benci berkat perbuatan tak menyenangkan yang ia terima semasa kecil.
Namun kemudian resah di hatinya berganti puas kala mengingat perkataan pelayan Nyonya Donnet.
“Kebaya putih berenda hanya dipakai oleh nyonya-nyonya Eropa. Jika pribumi yang memakai, sebentar lagi mungkin kau akan menjadi nyai.”
Arum tertawa geli. Seorang nyai tak ubahnya seorang budak. Kala pagi para nyai akan bekerja seperti babu dan malamnya akan menjelma menjadi penghangat ranjang sang tuan. Tidak. Dia tidak akan berakhir menjadi nyai. Dirinya bukanlah pribumi-pribumi bodoh yang hanya mengejar harta tuan-tuan Eropa. Dia harus menjadi istri sah Pieter. Mungkinkah jika sosok Rosalie menghilang selamanya, ia bisa menggantikan tempat perempuan Belanda totok itu di sisi sang tuan?
Ia lalu merapikan gelungan rambutnya memakai tusuk rambut yang pernah Pieter hadiahkan dulu. Dengan kaki berselop dan dagu terangkat ia berjalan menuju dapur. “Apakah makanan-makanan yang akan dihidangkan untuk tamu Tuan Pieter telah selesai?”
Jum berdecak dan menunjuk meja dengan sudip kayu. Di sana sudah ada bihun dan ikan yang baru direbus beserta daging babi yang telah dipotong-potong dadu. Selama ia tinggal di rumah ini, Arum mengetahui mengapa Rosalie sering terlibat di dapur karena Jum tak bisa makan apapun dari meja, Pian juga sama (ibu dan anak itu orang islam), sehingga yang bertugas untuk mencicipi dan memerintah ini-itu adalah Rosalie. Makanan yang tersisa biasanya akan dibuang atau diberikan kepada pengemis sesuai perintah sang nyonya rumah. Semenjak perempuan totok itu sakit dan dirawat, tugas mencicipi makanan diserahkan kepada koki Nyonya Donnet yang merupakan pribumi kristen.
“Apakah kau tidak bisa bekerja, hah? Bihun ini bahkan belum matang dan kau mau menghidangkannya?”
Jum tak menggubris. Perempuan tua itu sibuk menginang, tangan kanannya mengaduk kuah kaldu dalam kuali, sementara tangan yang lain berkacak pinggang.
Arum membanting piring seng dengan geram. “Kau dengar yang kukatakan tadi, kan? Jangan pura-pura tuli, Jum!” Ia sangat tidak suka keberadaan koki ini, tapi ia tak bisa melakukan apa-apa karena Jum telah mengenal Pieter jauh sebelum dirinya bertemu dengan lelaki itu.
Berbeda dari kemarin, Jum tidak menanggapi dengan kemarahan. Si koki malah menatapnya dengan kasihan. “Kau masih mau mencoba menjadi nyonya setelah apa yang dilakukan Tuan Pieter padamu kemarin?”
Wajah Arum merah padam. Mungkinkah Jum melihatnya menangis semalam? Karena kepalang malu akhirnya memilih untuk pergi ke ruang makan. Di sana babu yang dipekerjakan Pieter untuk berbenah dari pagi sampai sore tengah menyapu.
“Jangan sampai ada kotoran yang tertinggal. Kau dengar?” kata Arum ketus. Si babu perempuan yang hanya mengenakan kemban mengangguk patuh.
Dengan hati-hati Arum mengeluarkan sendok garpu perak dan piring beserta gelas keramik dari lemari. Ia kemudian membawa peralatan makan itu ke meja dan mulai menggosoknya dengan kain. Selama bekerja, matanya tak lepas dari sang babu yang kini tengah mengepel lantai. Ia jadi bertanya-tanya, apakah Rosalie juga melakukan apa yang ia lakukan sekarang? Arum tertawa kecil. Bukankah tidak mungkin perempuan totok yang terhormat mau melakukan pekerjaan yang pantas dilakukan pelayan ini? Ia jadi membayangkan dirinya sebagai Rosalie; sang nyonya rumah yang duduk di ruang tamu, mengenakan gaun selayaknya nyonya-nyonya Eropa, dan menyeduh teh untuk Pieter yang baru bangun dari tidur siang. Namun kenyataan pahit mengantamnya. Statusnya bahkan sama dengan Jum. Dirinya hanyalah seorang yang tak lebih dari sekadar penghangat ranjang.
Kala senja tiba, Arum merasakan gugup yang tak terkira. Walaupun pelayan Nyonya Donnet telah menjelaskan pekerjaan apa saja yang harus ia lakukan untuk menyenangkan tamu-tamu tuan Eropa, tetapi ketika dihadapkan dengan situasi asli tetap saja ia gelisah. Bagaimana kalau jamuan ini gagal? Apakah Pieter akan marah dan membuangnya? Itu tidak boleh terjadi.
Arum membentak Jum karena, astaga, semua yang dilakukan perempuan Jawa itu sangat lamban! Ia lalu mendengar pintu utama terbuka yang disusul dengan suara beberapa orang pria yang bercakap-cakap dengan bahasa Inggris (ia bisa mengenali logatnya walau tak paham apa yang mereka bicarakan).
“Oh, sudah lama sekali aku tidak mengunjungi Batavia dan rumahmu bahkan terlihat jauh lebih nyaman dibanding rumah jelek yang dulu kau tinggali.”
Yang barusan berkata bukanlah Pieter. Arum tahu betul. Terlebih ketika suara tawa Pieter terdengar jelas sesudahnya. Mungkin dia salah satu tamu tuannya. Dengan langkah ragu dia berjalan menuju ruang makan sambil membawa nampan kayu berisi anggur, gin, dan kue-kue gurih ala pribumi kesukaan sang tuan.
Setibanya di depan ruang makan. Arum mendadak berhenti. Total ada tiga pria yang duduk dengan nyaman sambil berseda-gurau, termasuk Pieter. Tangannya bergetar menatap pria yang duduk di kursi yang persis membelakanginya. Ia mengenali pria itu.
“Arum, cepatlah. Tamuku sudah menunggu,” perintah Pieter tak sabar.
Si pria yang menjadi sumber ketakutan Arum kemudian menoleh, lalu berseru, “Arum! Oh, sial. Benarkah itu Arum penghuni Rumah Anggrek?” tanyanya pada Pieter.