Ini tidak akan berhasil. Bagaimana kalau usahanya gagal? Arum berkomat-kamit, mondar-mandir di dalam kamarnya, lalu membuka gorden untuk melihat keadaan di luar. Hujan deras masih mengguyur tanpa henti sejak dini hari. Gorden ditutup. Perhatiannya lantas teralih pada uang simpanan dan beberapa perhiasan yang berhasil ia kumpulkan dalam tas kain yang ia buat dari sarung. Selama berhari-hari ia memikirkan ucapan Pieter di jamuan makan malam tempo hari dan ia membuat kesimpulan itu adalah sebuah isyarat. Pieter sedang membantunya memikirkan jalan bagaimana menyingkirkan Rosalie. Ya, pasti begitu. Perempuan totok itu sudah membuat keuangannya memburuk dan sang tuan pasti akan sangat gembira jika ia membantu menghapus Rosalie dalam kehidupannya.
Dia akan mengikuti cara Pieter. Jika tuannya berhasil menyingkirkan orang yang dibencinya, maka ia juga bisa.
“Arum!”
Arum terperanjat karena panggilan Pieter. Ia buru-buru menghampiri sang tuan yang masih berada dalam kamar utama, padahal ini sudah pukul tujuh.
“Ada yang bisa kubantu, Tuan?”
“Ambilkan obat pereda nyeri. Cepat!” Pieter membentak dan Arum lekas mengambil obat yang dimaksud sang tuan.
Setelah obat itu masuk ke perutnya, Pieter memutuskan untuk kembali berbaring. Lelaki itu memutuskan tidak masuk kerja hari ini. Arum pun memilih menyusui Arne di kamar utama dengan tujuan menjaga ayah anak itu sekaligus.
Arum kemudian bangkit dari kursi goyang favorit Rosalie, lalu meletakkan Arne yang tertidur di lantai beralas karpet persia. Di pinggir ranjang Pieter, ia berlutut sembari memandangi wajah tuannya yang terlelap. Tangan kanannya terangkat untuk mengelus dahi Pieter tanpa benar-benar menyentuhnya. Gerakan tangannya terus berlanjut menelusuri mata, hidung, bibir, leher, hingga dada si tuan. Senyumnya terkembang. Semua ini adalah miliknya. Tak ada seorang pun, terutama Rosalie, yang berhak memiliki raga ini selamanya.
Keesokannya, setelah yakin Arne telah pulas di dalam boks, Arum memantapkan hati mengunjungi Rumah Anggrek untuk berbicara dengan salah satu wanita publik yang ia ketahui memiliki pengalaman mengenai ini. Selagi Jum dan Pian masih berada di pasar, ia memiliki waktu luang untuk keluar rumah diam-diam.
Usai berbicara dengan salah satu wanita publik yang dimaksud, Arum pulang dengan senyum puas yang terkembang di wajah. Di tangannya kini terdapat sebuah alamat. Kendati demikian ia tak segera mengunjungi alamat itu karena ia belum mendapatkan kesempatan untuk keluar rumah lagi. Selagi menunggu datangnya celah, ada beberapa hal yang akhir-akhir ini membuatnya resah. Ia merasa banyak keanehan yang terjadi pada diri Pieter. Tuannya sering kali mendapatkan sakit kepala yang tak tertahankan dan mulai melupakan hal-hal kecil. Tuannya juga mudah sekali tersulut emosi. Arum telah berkali-kali menanyakan apakah ia baik-baik saja. Namun, Pieter menganggap semua itu adalah akibat dari banyaknya pekerjaan yang ia ambil dan ia pun akan meminta maaf atas sikap kasarnya itu.
“Arum!”
Arum yang tengah menyusui Arne tersentak mendengar seruan Pieter yang mengggelegar. Sambil menggendong bayi sang tuan, ia tergopoh-gopoh menghampiri Pieter di kamar utama.
“Apakah kau memang selalu seceroboh ini!” Pieter menghardik. “Di mana dasi yang ingin kupakai hari ini?”
Arum tetap memaksa senyum, meskipun ketakutan sempat merayap di sepanjang punggung. Dengan gemetar yang masih terasa, ia meletakkan Arne di kasur lalu mengangkat tumpukkan kemeja dan celana yang telah ia siapkan di atas kursi di sebelah lemari. “Aku meletakkannya di sini bersama pakaian yang ingin kau pakai, Tuan,” katanya seraya menunjukkan dasi yang menjadi sumber perkara pagi ini pada Pieter.
Pieter berbalik badan, mengusap wajah kasar, dan mengumpat. “Baiklah.” Ia menghela napas panjang dan kembali menghadap Arum. “Bantu aku berpakaian. Cepatlah.”
Perempuan itu mengangguk patuh. Dengan tangan-tangan telaten ia membuka kaus putih beserta celana batik yang membungkus tubuh Pieter, lalu memakaikan kemeja, celana, sabuk di tubuh Pieter. “Sudah selesai, Tuan,” ujarnya sambil menunduk.
“Belum.” Pieter menyerahkan dasi pada Arum. “Kau belum memakaikan ini.”
Arum menggigit bibirnya kuat-kuat demi menahan senyum. Tak mengapa ia menerima segala hardikan, selama keinginannya untuk menjadi istri sah Pieter semakin dekat. Ia memasangkan dasi sang tuan dengan sangat hati-hati sembari menghindari tatapan Pieter. Setelah selesai, ia yang hendak menjauh ditahan oleh sang tuan.
“Apa yang akan kau lakukan setelah menyusui Arne?”
“Tidak ada, Tuan,” jawab Arum seraya menunduk dalam.
Yang menjadi topik pembiacaraan tiba-tiba merengek dalam tidurnya, tapi Pieter sama sekali tak memberi Arum kesempatan untuk mengecek keadaan si bayi.