Mawar Derana, Arum Lara

Anisha Dayu
Chapter #28

Beroleh lumpur di tempat yang kering

“Malam ini Albert akan berkunjung. Kau siapkan yang enak-enak untuk makan malam nanti.”

“Baik, Tuan,” balas Arum. Lima langkah persis di hadapannya ada Pieter yang tengah memasang dasi. Melalui pantulan cermin besar yang berada di samping pintu ia bisa melihat tuannya tengah mengamatinya, atau mungkin Arne yang berada di pangkuannya? Peduli setan. Seluruh atensi Pieter harus tertuju padanya, bukan yang lain. Dirinya langsung mengubah posisi duduk menjadi miring sehingga yang terlihat dari cermin hanyalah dirinya dan sebagian badan Arne yang tertutupi tangannya.

Ia tersenyum manis ketika pandangannya bertumbuk dengan mata tajam sang tuan. Sampai beberapa saat tak ada satu pun dari keduanya yang mau memutuskan pandangan, seakan-akan itu adalah sebuah perlombaan yang harus dimenangkan. Arum tertawa dalam hati ketika merasakan nafsu yang meluap-luap dari sorot mata lelaki itu. Hanya ada satu kseimpulan; Pieter juga sama menginginkannya.

Pieter lah yang pertama kali mengalihkan pandangan setelah dasinya terpasang rapi. Ia pun berbalik. “Apa malam tadi kau sempat tidur?” tanyanya sambil memgambil topi dan mantel dari gantungan kayu di balik pintu.

Arum buru-buru berdiri sambil terus berusaha agar selimut yang menutupi kaki gemuk Arne tak merosot atau terjatuh. “Terima kasih sudah memperhatikanku, Tuan. Meskipun Arne menangis semalaman suntuk kemarin, tapi akhirnya anak manis ini bisa tertidur juga,” katanya dengan nada mendayu seraya menepuk-nepuk pantat si bayi. Diam-diam dia menyeringai puas karena kini Pieter semakin banyak menaruh perhatian padanya.

Tak ada balasan yang terucap dari mulut Pieter. Yang dilakukan laki-laki itu hanya mengangkat alis dan mengibaskan tangan. Arum burur-buru berseru, “Hati-hati di jalan, Tuan!” ketika Pieter keluar dari pintu, kemudian berjalan lurus ke pekaragan, dan menghilang di balik tikungan.

Sejenak kemudian, Arum menutup pintu dan kembali menyamankan diri di sofa. Perhatiannya kemudian teralih pada Arne. Wajahnya yang semula ceria berubah masam. Selimut yang semula menutupi kedua kaki gemuk bayi itu merosot jatuh hingga menampilkan luka lebam di betis kanannya. Siapa lagi pelakunya jikalau bukan dia? Ia melakukan itu sebagai pelampiasan lantaran, demi Dewa, entah setan apa yang merasuki sampai membuat bayi sialan itu menangis sepanjang malam! Dia mengerti jika bayi itu terbangun karena gelegar petir atau suara anjing piaraan Pieter yang tiba-tiba menyalak. Tetapi kemarin sungguh sangat tenang, udara malam pun tak terlalu dingin, jadi Arne benar-benar tengah mempermainkan kesabarannya.

Perempuan itu mendengkus geli. Tidak apa-apa. Sebentar lagi ia akan terlepas dari bajingan kecil ini. Sudah terhitung dua hari sejak Entjil mengambil pesanan yang diperintahkan Nini dan itu berarti hanya tinggal menunggu waktu dirinya akan menerima kabar kematian Rosalie dari Buitenzorg. Setelah menikah dengan Pieter, dia tidak ingin mengurus bayi ini. Atau, ya, setidaknya ia akan mengurusnya sampai tujuh atau delapan tahun, lalu mengirimnya ke Puppilenkorps1.

Dia akan membujuk Pieter soal hal ini dan ia yakin tuannya akan mendengarkan usulannya. Biar bagaimana pun Arne masih seorang anak campuran2 yang masih harus berjuang ekstra dan bersaing dengan orang-orang Eropa totok. Pieter tidak terlahir dengan sendok perak di mulut, jadi bukanlah hal yang bijak jika sang tuan masih mempertahankannya. Di Puppilenkorps hidup Arne akan terjamin. Dia akan mendapat pendidikan yang layak dan masa depan cerah. Dia bisa menjadi tentara atau pegawai negeri dengan gaji tinggi setelah lulus nanti.

*

Sore menjelang, gerimis turun. Arum menengok ke jendela saat umpatan Pieter bersamaan dengan tawa geli Albert terdengar dari balik pintu. Ia yang sibuk merangkai bunga langsung menghentikan pekerjaannya untuk menyambut mereka.

"Makan malam sudah disiapkan seperti yang kau minta, Tuan," katanya sambil membantu Pieter untuk melepas mantel, juga topi beserta tasnya. “Apakah Tuan ingin mandi terlebih dahulu?”

“Aku ingin mandi. Siapkan air hangat untukku dan juga Albert di kamar tamu.”

“Baik, Tuan.” Arum dengan sigap mencari Pian dan segera menugasi pemuda itu untuk menyampaikan perintah Pieter pada Jum. Sewaktu melewati dapur, ia sempat mendengar Jum menyumpahinya. Ia mendengkus geli. Akan tiba waktunya ia menendang koki Jawa itu keluar dari rumah ini. Tunggu saja.

Setelah air untuk mandi untuk kedua lelaki Indo-Eropa itu siap, Arum berencana menggunakan kesempatan itu untuk merayu sang tuan lantaran selama beberapa hari ini Pieter tak pernah mendatangi kamarnya atau meminta untuk melayaninya di kamar utama. Mungkin karena kesibukannya bekerja. Jujur ia rindu mendapatkan segala cumbu dan perhatian laki-laki itu. Sayang, harapannya pupus karena Pieter menolak mentah-mentah. Tuannya itu bahkan sampai meneriakinya. Arum pun keluar dengan hati yang mendidih. Sial seribu sial. Di lorong yang menghubungkan antara kamar utama dan kamar tamu, ia tak sengaja berpapasan dengan Albert.

Sialan.

Dengan cepat ia mengubah ekspresi kesalnya menjadi ramah untuk si tamu.

Lihat selengkapnya