Mawar Derana, Arum Lara

Anisha Dayu
Chapter #29

Bagai kerbau dicucuk hidung

Terkadang, ada saat-saat di mana ia mempertanyakan dirinya sendiri. Sejauh mana ia mengenal Pieter? Apakah dirinya benar-benar memahami lelaki itu? Ataukah selama ini hanya asumsinya belaka? Baginya Pieter ibarat cuaca di bulan Oktober. Dia tak pernah bisa menduga langit biru cerah yang membuat nyaman berpergian bisa mendadak berubah menjadi mendung kelabu. Dia sama sekali tak bisa membaca hati lelaki itu. Segala yang dilakukannya membingungkan. Walaupun ia yakin mampu terbiasa, tapi semakin lama dipendam, keraguannya timbul seperti benih yang terus bertunas hingga menjadi besar tak terkendali.

“Ada yang Tuan butuhkan?” Arum yang berlutut pun bertanya setelah Pieter memanggilnya di pukul dua dini hari.

“Tidak ada. Aku hanya tak bisa tidur. Kemari.” Pieter membuka tangannya.

Arum yang melihat itu mengartikannya sebagai sebuah undangan. Walaupun masih tersisa rasa rendah diri akibat penolakan kemarin, tetapi kegembiraan yang meluap di dada mengalahkan segalanya. Layaknya anjing penurut ia berdiri, berjalan tertatih-tatih, dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan sang tuan.

Pieter kemudian menciumnya pelan dan dalam. Salah satu tangannya menjelajah, mencari, dan membelai di tempat-tempat yang mampu membuatnya melayang. Bulu kuduk Arum meremang. Matanya terpejam erat. Ia nyaris menitikkan air mata tatkala Pieter membaringkan tubuhnya ke kasur lalu melucuti pakaiannya penuh kehati-hatian. Ini kali pertama baginya menerima perlakuan lembut dari seorang pria. Rasanya begitu asing, tapi menyenangkan. Beginikah rasanya dicintai?

“Arum.” Pieter mengelus pipi dan bibir bawahnya.

Arum membuka mata. Di atasnya, Pieter menatap penuh hasrat.

“Kau mendengarku?” tanya sang tuan.

Sesungguhnya ia ingin menjawab pertanyaan itu dengan patuh. Namun, tangan nakal Pieter telah menyentuh tepat di tempat yang paling tersembunyi sehingga ia sama sekali tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

“Jangan pernah kau bukakan kakimu untuk orang lain. Kalau tidak, aku tak akan segan untuk membuangmu. Kau dengar itu?” bisik Pieter di samping telinganya.

Perkataan itu bagai pukulan telak bagai mendarat di ulu hati Arum. Ia merasa dunianya sekonyong-konyong berhenti. Pandangannya berkunang-kunang. Mual yang tak tertahan menyergap. Ia pun berusaha kabur dari kungkungan Pieter, tetapi lelaki itu menghalangi.

“Apakah kau pernah berpikir untuk menyenangkan pria lain selain diriku?” bisik lelaki itu lagi.

Arum tersentak. Sekujur badannya menegang. Dengan susah payah ia berkata dengan suara bergetar, “Aku ... aku tidak akan melakukan itu, Tuan.”

Pieter mengecup pelipisnya, lalu turun ke kedua matanya. “Aku benar-benar menyukai perempuan sepertimu. Jangan pernah palingkan pandanganmu ke tuan lain, jika kau tak ingin aku mengambil semua yang telah kuberikan padamu.”

Arum tak membalas. Yang ia lakukan adalah menyerahkan diri sepenuhnya dalam kendali Pieter. Tubuhnya bergoyang mengikuti gerakan sang tuan. Tak lama berselang laki-laki itu mengerang, berguling dari atasnya, dan jatuh tertidur, meninggalkan dirinya yang tidak mampu terlelap sampai pagi.

Kejadian malam itu terus terngiang-ngiang di kepalanya bak cicit tikus yang mengganggu di malam hari sampai berhari-hari kemudian.

Lihat selengkapnya