Arum melihat jam. Sudah hampir jam lima. Aroma bawang putih dan cabai yang ditumis tercium sampai ke ruang tengah. Arne yang berada di pangkuannya bersin tiga kali. Dengan telaten ia mengusap lendir yang keluar dari hidung si bayi dengan sapu tangan.
Tiba-tiba, Arne meraih jari telunjuknya dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Tidak boleh.” Arum menarik tangannya dengan lembut. Namun, Arne yang keras kepala malah terlihat sedih dan nyaris menangis.
“Tidak. Bukan seperti itu, Sayang.” Arum memeluk bayi itu seraya menepuk-nepuk pantatnya. Tanpa sadar ia mendendangkan lagu pengantar tidur yang biasa dinyanyikan Nyonya A Lan untuknya.
“Aku tidak tahu ternyata kau bisa bernyanyi.”
Arum mendongak mendengar perkataan barusan. Ia mendongak dan Pian sudah ada di hadapannya sambil membawa beberapa tangkai bunga sedap malam yang baru saja dipetik dari kebun belakang.
Dengkusan geli meluncur dari bibir Arum.
“Aku tidak sedang memuji. Kau memang tidak pernah bernyanyi untuk Sinyo Arne. Yang kau lakukan jika tidak ada Tuan hanya berteriak dan marah-marah.” Pian lantas melatakkan bunga-bunga itu ke meja. “Aku sudah memetik sedap malam untuk hari ini. Tugasku sudah selesai.”
“Mulai besok, kau tidak perlu lagi memetik bunga itu,” balas Arum. Ia pun berdiri dan mulai beranjak, tapi Pian menghentikannya.
“Kenapa?” tanya pemuda itu heran. “Apa aku melakukan kesalahan? Kau dengar, ya. Selama berbulan-bulan ini aku dan ibuku diam saja dengan kelakuanmu karena kami tahu posisimu sudah berada di atas kami, tapi jangan kira kami akan terus diam saja! Tuan Pieter cepat atau lambat akan menyadari kelakuanmu. Jangan kau kira Tuan Pieter yang membebaskanmu untuk mengatur rumah dan dia tak menyadari apa yang telah kau perbuat pada Sinyo Arne dan piring-piring keramik kesayangan Nyonya!” Nada suaranya mendadak meninggi. Raut kemarahan tergambar jelas di wajah yang sebentar lagi beranjak dewasa itu.
Arum membenci mendengar nama perempuan totok itu disebut-sebut. Tetapi tenaganya seolah-olah tersedot bumi sehingga ia tak berniat untuk memaki Pian. Yang dia katakan selanjutnya malah bertentangan dengan apa yang ia pikirkan. “Apakah kau sekarang marah kepadaku karena kau harus membereskan kekacauan yang kulakukan tempo hari?”
Pian melotot. “Tentu saja! Kami akan melimpahkan semua kesalahan kepadamu jika Tuan menanyakannya.”
“Itu tidak akan terjadi, Pian.”
Mimik muka pemuda itu tampak sangat kesal. “Jangan sombong. Walau kau lebih tinggi dari kami, tapi kau hanyalah nyai.”
Sejujurnya Arum ingin menyanggah ucapan Pian bahwa dia bukanlah nyai melainkan calon nyonya rumah ini, tapi lidahnya terasa sangat berat, seakan-akan sebagian dari dirinya sendiri meragukan hal itu. “Karena kau tidak memiliki pekerjaan lain, kau boleh kembali ke belakang. Aku tidak ingin suara kerasmu mengganggu tidur Sinyo Arne.” Ia sengaja mengalihkan topik pembicaraan agar dapat dengan mudah memutus pembicaraan dan melenggang menuju kamar Arne tanpa harus menghadapi segala pertanyaan Pian yang, sedikit banyak, membuatnya meragukan keputusannya.
Di dalam kamar, ia perlahan meletakkan Arne ke dalam boks, lalu menutup kelambu yang terpasang di atas tiang-tiang boks. “Anak baik. Tidur yang nyenyak, ya,” ucapnya seraya mengusap-usap dahi bayi itu sebelum pergi ke ruang makan untuk menyiapkan hidangan makan malam.
“Sudah sampai mana pekerjaanmu?” tanya Arum pada Jum setibanya dia di dapur.
Yang ditanya menghentikan kegiatannya mengaduk masakan di penggorengan seketika. Koki Jawa itu lantas berbalik dan memandang tak percaya.