Mawar Derana, Arum Lara

Anisha Dayu
Chapter #31

Yang dikejar tiada dapat, yang dikandung berceceran

Arum tak menyangka rencananya akan berhasil.

Surat kawat yang diterima Pieter pagi tadi adalah berita kematian Rosalie. Entah karena apa penyebabnya ia tak tahu pasti (Ia hanya bisa mendengar Pieter menggumamkan kata demam). Dirinya juga tak memusingkan hal itu karena yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana ia harus bereaksi. Puas, kah? Ia sudah mencoba. Namun hati kecilnya tidak bisa dibohongi karena saat ini ia justru amat cemas, dan kecemasan ini berhasil ia tutupi dengan membantu Pieter menyiapkan segala sesuatu yang ia butuhkan untuk pergi ke Buitenzorg, termasuk gaun pengantin putih yang dulu Rosalie kenakan di pesta pernikahannya.

Pieter akan mengejar kereta pertama, maka dari itu buru-buru memerintah Pian untuk meminjam sado dari kediaman Donnet. Sebelum pergi, lelaki itu mengutus Jum untuk menyampaikan kabar kematian Rosalie pada pengurus gereja di mana mereka berdua terdaftar sebagai jemaat dan juga ke seluruh rumah yang berada di lingkungan. Tak lupa ia menugasi Pian untuk pergi ke kantor telegraf untuk mengabari paman dan bibi Rosalie beserta keluarganya yang berada di Belanda.

Sorenya, empat jongos beserta dua orang campuran suruhan dari gereja datang membawa kain hitam bermeter-meter panjangnya bersama peralatan lain yang Arum tak tahu kegunannya untuk apa.

Lantaran tak tahan dengan suasana duka yang mendadak menyeruak, Arum mengunci dirinya di kamar Arne dengan dalih ingin meniduri bayi itu. Beberapa jam berselang berlalu, dahaga menderanya. Arum memberanikan dirinya untuk keluar. Para jongos dan dua orang lelaki campuran kiriman gereja yang menata rumah telah pergi sepenuhnya.

Sejujurnya ia masih tak mau mempercayai ini dan menganggap semua yang terjadi hanyalah mimpi. Diam-diam ia menusukkan jari telunjuk pada jarum bros yang dikenakannya. Perih yang terasa serta darah setitik darah yang menetes bukti kalau ini bukan sekadar ilusi semata. Ini nyata. Ia tidak sedang bermimpi. Jendela-jendela serta perabotan rumah ini telah ditutup kain hitam. Tiap jam yang berada di rumah itu dimatikan sementara. Cermin-cermin dibalik dan lilin-lilin diletakkan berbaris di kedua sisi membentuk jalan kecil mulai dari pintu sampai ke salah satu kamar tamu. Ia merasakan mual yang tak terkira, terlebih saat menyaksikan peti mati jati berwana cokelat tua telah berada di tengah kamar itu.

Bukankah ini yang dia inginkan? Namun, mengapa ia malah berubah menjadi pecundang?

Tak tahan dengan gejolak di perut, Arum berlari ke kamar mandi di kamar utama dan memuntahkan segala yang dimakannya pagi tadi. Tubuhnya limbung. Kakinya terasa lumpuh. Ia pun akhirnya merosot jatuh bersamaan dengan tangisnya yang tumpah ruah.

Bukan begini. Bukan seperti ini.

Arum membekap mulutnya sendiri agar isakannya tak terdengar siapa pun. karena kehilangan tenaga ia membiarkan tubuhnya berbaring di lantai yang dingin dan basah, lalu meringkuk di samping baskom seng berisi pakaian Pieter yang belum sempat ia jemur.

Bunyi tetesan air yang keluar satu persatu dari keran pun mengusiknya. Ia lalu menadahkan tangan guna mengumpulkan tetes demi tetes air dari keran tersebut, lalu membasuh wajahnya. Ia mengulangi perbuatan itu beberapa kali sambil berharap pikiran pengecutnya yang mengambil alih kewarasannya beberapa waktu belakangan tersapu air dan terbuang ke selokan.

Sayang, mengubah hatinya yang kosong tak semudah membalik telapak tangan. Ia masih seorang pengecut yang berharap kematian Rosalie tidak terjadi secepat ini.

Ia pun bangkit saat merasa tubuhnya tak kuat menahan dingin, lalu segera berganti baju. Ia memang sengaja menaruh beberapa potong kebaya dan kain dalam lemari Pieter dengan tujuan jika dibutuhkan sewaktu-waktu, seperti hari ini, misalnya. Kemudian ia membawa baskom seng berisi pakaian basah Pieter untuk dijemurnya di kebun belakang.

Sambil menyenandungkan syair-syair duka yang pernah ia dengan dari pemain opera, ia menggantung pakaian Pieter di seutas tali rami yang diikat di dua kayu pancang. Setelahnya ia kembali untuk mengecek keadaan Arne dan tersenyum kecil kala mengetahui bayi itu masih tidur dengan tenang. Ia kemudian memeriksa hasil pekerjaan orang-orang itu dengan teliti dengan harapan ia bisa menerima apa yang terjadi. Ia usap kain-kain hitam yang menutupi jendela dan perabotan. Sesekali ia membetulkan letak kain yang merosot di beberapa bagian.

Setibanya di ruang tamu, ia didatangi babu Nyonya Donnet.

“Untukmu,” kata si babu sembari menyerahkan sebuah kotak padanya.

“Apa ini?”

Lihat selengkapnya