Dua bulan pasca kematian Rosalie, tidak ada yang berubah dari rumah itu. foto-foto Rosalie masih tergantung di dinding dan terpajang di lemari hiasan. Kesibukannya pun masih tetap sama; melayani Pieter dari pagi hingga malam, menyusui Arne, dan menyenangkan di tuannya di ranjang. Perlahan ia seolah-olah kehilangan atas kontrol dirinya sendiri. Ia tak ubahnya jarum jam dinding yang berputar, berulang-ulang tanpa henti lantaran segala yang ia lakukan hanyalah sebuah pengulangan yang ia tidak tahu kapan baterainya habis dan mati.
Arum bangkit dari rebah dan turun pelan-pelan karena tidak ingin Pieter terbangun. Tanpa suara ia memunguti pakaiannya yang terserak di lantai dan memakainya. Ia mengernyit. Seingatnya terakhir kebaya ini terasa pas, tapi ia merasa kebaya ini terlalu longgar seakan-akan tubuhnya menyusut. Ia pun menghela panjang lalu menyisir rambutnya dengan tangan.
Dalam keheningan kamar, hanya tarikan napas Pieter yang terdengar. Arum pun berbalik. Ada jarak yang memisahkan dirinya dengan sang tuan, mungkin tiga langkah. Walaupun ia bisa melihat dengan jelas Pieter yang masih terlelap di ranjang, tapi lelaki itu begitu jauh dari jangkauan tangannya; sama seperti hubungannya mereka. Tanpa ia sadari Pieter mejadi sosok yang sangat jauh dan asing, meskipun tadi malam mereka berdua sangat dekat seperti langit dan matahari. Bolehkah ia berharap Pieter akan mencarinya sebelum ia meninggalkan kamari ini? Akan tetapi wajah tenang Pieter telah menggambarkan lelaki itu mungkin tidak akan terganggu oleh kepergiannya.
Arum memaksakan senyum lalu melangkah pergi. Dengan hati-hati Arum berjalan menuju pintu agar suara langkahnya tidak membangunkan Pieter. Namun saat ia hendak membuka pintu, suara gumaman laki-laki itu membuat gerakannya terhenti.
“Arum....”
Genggamannya pada kenop pintu menguat. Ada sedikit rasa gembira dan harapan yang menyeruak di dada. Arum pun menoleh, hanya untuk menemukan bahwa tuannya masih tertidur pulas dengan dahi berkerut dan wajah yang tampak gelisah.
“Roos ...,” gumam Pieter lagi.
Darahnya mendidih. Lagi-lagi Rosalie. Bahkan setelah ia tidak lagi ada, perempuan totok itu masih hidup dalam kepala Pieter.
Arum menggertakan gigi dan memutuskan untuk cepat-cepat keluar, berjalan lurus ke kamarnya yang berada di bangunan belakang, tempat di mana para pekerja di rumah ini tinggal. Begitu pintu belakang dibuka, udara malam yang dingin langsung menerpa wajah bersamaan dengan harum sedap malam yang membuat kepalanya ringan.
Saat menyusuri jalan setapak yang memisahkan kembun belakang dengan tempat para pembantu tinggal, kursi jati tua di sudut kebun kemudian menarik perhatiannya. Arum mendengkus geli kala mengingat dulu ia pernah memerintahkan Pian untuk membuang kursi reyot itu. Namun pemuda itu malah memarahinya dan bersedia bertengkar kapan saja karena menurutnya kursi itu adalah tempat favorit Rosalie.
Ia mendengkus. Fakta bahwa semua orang menyayangi perempuan itu membuatnya muak setengah mati.