Dengan sisa-sisa keberanian dalam hatinya yang masih ada, Arum memutuskan menemui sinshe1 tanpa memberitahu siapapun, terutama Pieter (ia tidak ingin ke dokter Eropa karena ia merasa di sana bukan tempatnya). Ia bersyukur tuannya kini tengah sibuk dengan pekerjaannya sebelum libur natal dan akhir tahun tiba jadi selama beberapa hari ke belakang tuannya baru akan kembali ke rumah sekitar pukul delapan malam. Seperti yang sudah-sudah dilakukan ketika ia hendak pergi secara sembunyi-sembunyi, dirinya akan memilih waktu ketika Jum dan Pian tengah berada di pasar. Karena tidak ada yang bisa menjaga Arne, kali ini dia akan membawa bayi itu bersamanya.
Tempat tinggal sinshe yang dikunjunginya lumayan jauh, berada di kawasan Glodokplein2 yang dihuni deretan toko-toko tua Tionghoa yang sudah berada di sana selama lebih dari seratus tahun.
Arum memandangi pintu depan toko sambil menghela napas gugup. Sinshe yang ia datangi ini adalah kenalan lama Nyonya A Lan. Bisa jadi sang tabib akan membocorkan masalah kesehatannya pada wanita itu, kan? Namun setelah teringat bahwa Nyonya A Lan sudah tidak lagi sudi mengenalnya, wanita itu mungkin tak akan peduli jika sang tabib mengatakan dirinya akan meninggal. Lagi pula di sini adalah satu-satunya tabib yang ia tahu dan percayai di Batavia.
Arum mendengkus lalu mendorong salah satu daun pintu toko itu. Harum rempah dan obat-obatan menyambut indra penciumannya begitu pintu itu dibuka. Di dalam toko, sebuah meja panjang berdiri di ujung ruangan. Arum kemudian menyapa pria setengah baya dengan janggut putih panjang serta potongan rambut taucang yang sibuk meramu obat di baliknya dengan bahasa Mandarin, “Selamat siang, Tuan Khouw.”
Si pria tersentak dan menoleh kepadanya. Ia lalu tersenyum lebar. “Selamat datang—Ah, Arum, kau kah itu? Sudah lama sekali kau tidak kemari. Ayo, ayo masuk,” ucapnya sambil menyilakan Arum duduk di salah satu kursi bambu yang berada di tengah ruangan.
“Terima kasih.”
“Ke mana A Lan? Dia datang bersamamu, kan?”
“Aku datang sendiri ke sini, Tuan.”
Tuan Khouw berdeham. “Baiklah, ada keluhan apa yang membawamu ke sini?” Pandangan matanya turun dan dan tertuju pada Arne yang tengah menggigit-gigit kain gendongannya.
Pria itu tidak tahu jika dirinya telah keluar dari Rumah Anggrek dan telah menjadi nyai seorang lelaki Indo-Belanda. Yang pria itu tahu dia adalah gadis kesayangan Nyonya A Lan. Mengerti akan tatapan sang sinshe, Arum pun meluruskan. “Dia bukan putraku. Dia putra tuanku. Aku bekerja di kediaman pria Indo sekarang.”
Tuan Khouw memandangnya lekat-lekat penuh keterkejutan. “Kau sudah keluar dari tempat A Lan?”
Arum mendesah. Ia tahu Tuan Khow akan menduga-duga pekerjaan apa yang ia jalani setelah ia melihat pakaian yang ia kenakan sekarang. Tatapannya lantas teralih pada rak-rak yang dipenuh berisi berbagai macam porselen berisi rempah berbagai ukuran dan foto-foto serta lukisan leluhur Tuan Khouw yang tergantung di dinding. “Ceritanya sangat panjang dan aku sedang tidak ingin mengungkitnya. Maafkan aku, Tuan.”
“Baiklah. Baiklah. Jadi, ke sini kau ingin memeriksakan kesehatanmu?”
Arum mengangguk sambil menggulung kebaya dan mengulurkan lengan kirinya. Dia mulai menceritakan keluhannya dengan suara pelan, takut jika suara bisa terdengar dari luar toko meskipun ia tahu tidak ada seorang pun yang melakukan itu.
Sang tabib segera memeriksa denyut nadinya. “Sudah berapa lama kau merasa sakit seperti ini?”
“Beberapa hari ke belakang. Bisakah aku tahu apa yang terjadi padaku?” tanya Arum dengan nada mendesak. “Apakah aku akan mati?”
Tuan Khouw terlihat bimbang. “Kau tidak akan mati.”
“Lalu apa?”