Jam empat sore Waterlooplein1 telah dipadati manusia. Para pikkers2 dan serdadu berpakaian putih, orang Tionghoa, noni-noni yang langsing, serta gadis-gadis Eropa bergaun cantik berjejalan untuk menyaksikan pesta hari itu. Riuh rendah suara obrolan dan tawa memenuhi tiap sudut lapangan. Pieter memandangi pria-pria Eropa totok yang jemawa mempertontokan keahlian mengendarai kuda sambil bersedekap. Menonton konser di Minggu sore adalah favorit Rosalie, tapi tidak untuknya. Ia membenci kerumunan dan mengapa ia bisa berada di sini hari ini adalah karena si Bajingan Willem.
Musik Zaagman kapel yang dimainkan korps musik tentara mengalun, mengundang beberapa orang untuk ikut berdansa di sekeliling monumen Jendral Michels. Angin yang sepoi-sepoi berembus membuat Pieter menyesal mengiyakan ajakan Willem. Seharusnya dia di rumah menikmati hari liburnya sambil bersantai.
“Kau tidak ingin berdansa?” Willem menggodanya, tapi Pieter yang malas menanggapi, mengibaskan tangan dan menyilakannya untuk berbuat sesuka hati.
“Kau yakin?” Willem menyenggol lengannya dan memberi isyarat dengan lirikan mata di mana para gadis-gadis Eropa totok dan noni-noni dengan pipi kemerah-merahan diam-diam mencuri pandang kepadanya. “Tidak kau lihat merpati-merpati betina di sana tampak sangat tertarik padamu?”
“Pergilah, sialan! Tidak usah kau pedulikan aku,” kata Pieter sembali memukul lengan Willem yang berada di pundaknya.
Willem, yang masih ingin bermain-main dengan kesabaran Pieter, dengan kurang ajarnya mencibir. “Apakah kau masih memikirkan mendiang istrimu? Ayolah, Piet. Bersenang-senang lah sedikit. Kau duda sekarang dan tidak lagi memiliki nyai yang menjadi rantaimu.”
Pieter meludah. “Diamlah, Will!”
Will tergelak. Ia mengangkat bahu lalu berjalan menghampiri gadis-gadis untuk diajak berdansa, meninggalkan Pieter yang wajahnya telah memerah menahan murka.
Pieter melirik jam saku miliknya. Hampir pukul lima. Oh, dia sangat membenci ini. Waktu berjalan begitu lambat. Karena tidak ada yang bisa dilakukan, ia pun merogoh saku lain pada celananya dan mengeluarkan cerutu beserta korek api. Lelaki itu memilih untuk menyingkir ke area yang lebih sepi untuk mengamati jalannya pesta hingga lonceng dari gereja berdentang enam kali, yang enjadi tanda pesta hari itu telah usai.
Will kemudian datang seorang gadis totok paling cantik. Pieter terkadang memuji bakatnya merayu para gadis.
“Kami berdua akan ke gereja untuk menghadiri misa. Kau mau ikut bersama, Piet?” tanya kawannya itu.
Pieter menolak tanpa berpikir dua kali. Persetan dengan gereja. Kepalanya sakit. Ia hanya ingin pulang dan menikmati sisa hari liburnya dengan damai setelah seharian ini ia disibukkan dengan ocehan Willem dan segala rencananya untuk naar boven3 untuk minggu depan.
Will mengerutkan dahinya. “Tapi kau benar-benar harus kembali ke jalan Tuhan, Piet. Aku hanya ingin mengingatkanmu.”
Mendengar khotbah Willem, Pieter tergelitik. Ia pun tertawa meremehkan. “Persetan dengan Tuhan. Meski tanpa Tuhan pun aku bisa dengan mudah menjalankan semua rencanaku dan mendapatkan apa yang aku mau.”
Willem mengangkat dua tangannya, tanda menyerah. “Aku tidak akan memaksamu, Tuan Vrolijk. Dan aku tidak akan ikut campur jika kau menerima karma atas perbuatanmu.”