Mawar Hitam Asyifani-

Ikhsan Ardiansyah
Chapter #1

Kelainan Jantung Bawaan

Sudah lama sekali aku menunggu kebebasan ini. Tuhan Maha Adil. Setelah sekian lama aku berkutat dengan rumah sakit, obat-obatan dan selang infus. Kini, aku merasa seperti terlahir kembali. 

 

Aku sudah sembuh. Operasi transplantasi jantung berhasil. Tubuhku sudah bisa menerima organ baru. Tiga bulan terakhir, semenjak keluar dari rumah sakit, Kak Raffa tidak pernah absen menjagaku selama 24 jam. Ia bahkan rela cuti panjang dari pekerjaannya sebagai dokter.

 

Mengenai kesehatanku, Kak Raffa memang sangat protektif. Sementara aku orangnya keras kepala. Aku tidak mau ruang gerakku dibatasi apapun. Termasuk penyakit yang bertahun-tahun bersarang di tubuh.

 

Aku membuka jendela kamar. Semilir angin dari luar menerobos masuk, menyibakkan tirai berwarna abu-abu yang seolah ingin mengajakku menari bersama menyambut hari baru.

 

Cuaca hari ini cukup cerah. Suhu di Ankara pada musim semi lima sampai tujuh derajat celcius. Ya, saat ini aku dan Kak Raffa tinggal di Ankara, Turki, tepatnya di apartemen Golaz Suit Otel. Satu koma delapan kilometer dari pusat kota. Kakak memilih apartemen ini karena jaraknya lebih dekat dengan Ankara Bilkent City Hospital, tempatku di rawat selama sakit.

 

Sebuah sentuhan lembut di pundak menggugah kesadaran. Tubuhku sedikit terperanjat.

 

“Apakah keputusanmu sudah bulat?” tanya Kak Raffa.

 

“Aku harus ke Jakarta,” jawabku mantap.

 

“Tapi kamu belum boleh ke mana-mana, Dik. Kamu masih harus menjalani perawatan pasca operasi.”

 

“Tapi aku ingin kuliah di sana, Kak,” rajukku. 

 

“Kalau soal kuliah, di Turki kan bisa, Dik. di sini banyak universitas terbaik. Bahkan terkenal di dunia. Kamu bisa memilih. Kenapa harus jauh-jauh ke Jakarta? Lagi pula kamu belum sembuh benar. Kakak tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu.”

 

Kenapa sih kakak tidak bisa memahami keinginanku? Iya, aku tahu di sini banyak universitas terbaik dan terkemuka, hingga banyak orang asing yang ingin menempuh pendidikan di sini, termasuk orang Indonesia. Sedang kami keturunan orang Indonesia. Apa salahnya kuliah di negeri sendiri? Tapi bukan itu yang aku maksud. Ada sesuatu yang seolah memaksaku untuk ke Jakarta, seperti ada medan magnet yang menarik hati dan pikiranku untuk ke sana.

 

Kak Raffa memutar tubuhku supaya menghadap ke arahnya karena sejak tadi aku membelakanginya.

 

“Dengar ya, Raffi. Kakak akan melakukan apa saja demi kebahagianmu. Tapi kali ini, please, turuti keinginan kakak.”

 

Lihat selengkapnya