Kamar 103. Di balik pintu, saya melihat pemandangan yang membuat senyum saya mengembang. Raffi minum obat sendiri tanpa perlu dikomando lagi. Biasanya kita berdebat dulu seperti yang sudah-sudah.
“Aku sudah minum obatnya, Kak,” kata Raffi waktu itu.
“Kapan? Kakak tidak melihat kamu minum obat. Jangan-jangan obatnya kamu buang lagi ya?”
“Kakak kok tidak percaya sih sama aku. Billahi1, aku sudah minum obatnya tadi pas Kakak ke mini market.”
Raffi merengut dan pergi begitu saja. Seperti itulah. Saya bukannya tidak percaya, hanya saja, saya sering memergokinya membuang obat ke tong sampah.
Saya masih memerhatikan tingkah Raffi. Sejak tadi dia belum menyadari kedatangan saya. Raffi duduk di Sofa sambil menulis sesuatu. Hey, sejak kapan dia menulis pakai tangan kanan? Bukankah dia kidal seperti Papa?
Tanpa bermaksud mengganggunya, saya langsung masuk ke dalam kamar. Tak berapa lama, saya keluar hendak membeli sesuatu.
Raffi ternyata tertidur di sofa. Saya ambilkan selimut lalu memakaikannya. Sebelum pergi, saya meninggalkan pesan pada secarik kertas.
***
“Kamu sudah sholat maghrib, Dek?” tanya saya ketika sudah kembali membeli makanan.
Raffi menoleh. “Kakak, ngagetin aku saja. Sejak kapan Kakak di situ?”
Saya mengambil tempat duduk di sebelahnya. “Sejak tadi. Maaf ya, kakak mengagetkanmu. Sudah sholat maghrib?” tanya saya mengulang pertanyaan yang sama.
“Sudah, barusan.”
Mulut saya menganga hendak mengatakan sesuatu tapi kemudian Raffi menyambar. “Dan aku sudah minum obat.”
“Iya, kakak tahu. tadi kakak sudah lihat,” kata saya kemudian sembari mengusap tengkuk. Padahal bukan itu yang ingin saya ucapkan.
“Kak Raffa dari mana? Tadi pas aku bangun tidur, kakak sudah tidak ada.”