Siang ini begitu terik, dan aku harus mulai bersiap menjajakan kue-kue. Iya. Profesiku hanya sebagai penjual kue. Ada banyak kue yang aku jajakan; dari kue basah hingga kue kering, seperti nastar dan putri salju. Sebagian buatan ibuku sendiri, dan sebagian lagi titipan tetangga.
Aku biasa berjualan dengan menitipkannya di warung-warung atau jika sedang beruntung, ada yang bersedia membelinya langsung dariku. Pekerjaan ini sudah hampir satu tahun aku jalani. Sejatinya berjualan sendiri sudah aku lakoni sejak masih berada di bangku sekolah dulu.
Malu? Tidak. Kenapa harus malu?
Seorang Harumia Mawarni tidak akan pernah merasa malu, jika itu pekerjaan yang halal. Aku malah senang kalau kue-kue itu habis. Sudah pasti rupiah pun masuk kantongku. Meski mungkin jumlahnya tak seberapa bagi sebagian orang. Namun bagiku sangatlah berharga. Keuntungan yang didapat bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dan jika jaulanku sedang laris manis, sedikitnya aku bisa mendapatkan tambahan uang saku yang akan kutabung untuk biaya kuliah suatu hari nanti.
“Mia. Ini kamu mau bawa semua atau mau dikasih ke bu Edi?”
Ibu menatapku seraya menujukkan tumpukan kue yang berada di dalam wadah. Aku tidak segera menjawab, malah berjalan mendekati wadah tersebut. Mulai menghitung tanpa suara. Ibu hanya memperhatikan apa yang aku lakukan.
“Ini masih ada sisakah di dapur?” tanyaku pada Ibu.
“Ada lima buah lagi.”
Aku mengulas satu senyuman, dan Ibu hanya mengernyit heran. Lalu, aku pun mengambil plastik dan berjalan menuju dapur. Benar saja apa yang Ibu katakan, ada lima buah putu ayu di atas piring yang berada di dalam lemari. Segera aku masukkan ke dalam kantong plastik. Kemudian membuat simpul—mengikat ujung plastik tersebut. Sehingga kue akan berada di dalam plastik tertutup.
“Boleh aku minta, ya, Bu?” Aku mengacungkan kantong plastik berisi kue yang berada di tanganku. Ibu hanya mengangguk tanda mengiakan. Setelah mendapat izin dari Ibu, aku pun mulai membereskan daganganku ini.