“MAMER … MAMER!!!”
Satu kata itu sudah sangat lama tidak kudengar. Aku pun menoleh ke arah sumber suara. Di seberang jalan—tepatnya di depan sebuah mobil sedan berwarna putih—berdiri seorang gadis yang melambaikan tangannya sembari tersenyum lebar. Keningku berkerut, sejenak mencoba mengingat siapa dia. Dan akhirnya gadis tersebut berjalan mendekatiku.
“Ya Tuhan, Mamer … lama enggak ketemu, ya.” Gadis berambut hitam sepunggung memakai baju kemeja garis-garis biru dipadukan dengan celana jeans ini terlihat begitu senang. Dia menggenggam tanganku.
“Kamu—“
“Anna. Aku Anna.”
Seketika itu mataku melebar. “Anna Juliana? Ya Ampun pangling.”
Aku pun langsung memeluk teman sekelasku dulu. Bagaimana aku tidak mengenalinya? Dia sudah banyak berubah. Penampilannya jauh berbeda. Dulu dia seorang yang cuek, terkesan sedikit urakan pula. Anak laki-laki di kelas kami pun takut terhadapnya. Anna jago beladiri.
Dan saat ini, dia sangat feminin.
“Lo lagi ngapain di sini?” tanyanya.
Aku hanya menunjuk memakai dagu ke arah tukang tambal ban yang sedang bekerja. Anna pun mengangguk. Dia mengmbil duduk di sampingku. Kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.
“No HP?”
Dia menyodorkan ponselnya seraya mengisyarakan kalau aku harus mengetikan nomor ponselku di sana. Aku pun menerimanya dan mengetikkan nomor ponselku, kemudian menyerahkan kembali ponsel ini padanya.
“Lo kuliah di mana?”
Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaan darinya. “Gue enggak kuliah.”
Anna tampak merasa bersalah.” Maafin gue, ya. Enggak bermaksud membuat lo sedih.”
Aku mengelengkan kepala, Anna memang tidak bersalah. Wajar jika dia menanyakan hal tersebut. Mengingat hampir semua teman sekelasku dulu, melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Ya … aku hanya bisa bersabar sampai giliranku tiba. Setidaknya, aku sedang berusaha mengumpulkan uang untuk biaya kuliah nanti.