“Permisi, kau menghalangi pintu.”
Untuk kedua kalinya hari ini Maw nyaris terjungkal karena terkejut. Sontak ia menoleh ke belakang dan bertatapan dengan seorang gadis yang lebih pendek darinya dan mengenakan kacamata tebal. Gadis itu menatapnya dengan pandangan ganjil. Barulah Maw sadar bahwa sejak si Sambal Terasi meninggalkannya, ia masih berdiri di ambang pintu—tidak bergeser semeter pun. Astaga, pasti ia akan dianggap aneh!
“Permisi, aku mau masuk,” ulang gadis berkacamata hitam itu.
“Ah ... iya ... maaf,” Maw beringsut menyingkir. Kenapa sih sejak masuk SMA aku jadi penggugup, batin Maw.
Gadis itu melangkah masuk. Kini ia tepat di samping Maw. Bukannya langsung pergi mencari tempat duduk, ia malah berhenti dan menoleh menatap Maw.
“Kau tidak duduk?”
Maw bisa merasakan wajahnya bagai baru keluar dari air rebusan. Iya juga, kenapa ia tidak duduk? Sudah lebih dari tiga menit dia berdiri termangu di pintu. Apa sih yang terjadi pada dirinya?
“Namamu Mawar Merah, kan? Aku belum begitu hafal semua nama, tapi aku ingat kamu. Oh, ya, aku Luna. Luna Lafayette.”