Kesalahpahaman yang menggelikan itu sukses mencairkan kecanggungan yang tadi sempat membekukan Maw dan Luna. Maw tidak lagi memijit-mijit ibu jari dengan gugup dan mereka berdua kini duduk dengan lebih nyaman, tidak tegak sekaku papan seperti sebelumnya.
Saat itulah seorang anak laki-laki masuk ke kelas dengan langkah santai nan percaya diri, namun sangat teratur seolah-olah dia memastikan jarak tiap langkahnya sama. Kemeja licinnya diselipkan ke celana dengan rapi, tipikal anak laki-laki yang baik. Biasanya anak-anak seperti ini akan dicap cupu oleh sebagian besar anak laki-laki yang tidak mau repot-repot memasukkan baju. Namun, anak ini adalah kasus lain. Ia tetap terlihat keren dalam keadaan seperti itu. Bahkan Maw bertaruh dia akan tetap terlihat keren walau habis berendam di kubangan lumpur. Eh? Mendadak Maw terkejut sendiri. Sedari anak itu masuk, ia tidak bisa berhenti memandanginya atau berhenti menyebutnya keren.
Hifa yang melihat pandangan Maw terpancang pada anak laki-laki itu tersenyum usil. Ia mencondongkan tubuh ke depan hingga mulutnya dekat dengan telinga Maw dan berbisik, “Cieee, naksir ya?”
Maw nyaris tersedak ludahnya sendiri. Spontan ia menoleh dan keningnya beradu dengan kening Hifa yang masih berada di dekatnya.
“Aww!” Mereka mengaduh bersamaan.
“Nama dia Benjamin. Masa kamu belum lihat dia waktu orientasi sih?” lanjut Hifa sambil mengusap-usap keningnya yang memerah.